• Beranda
  • Berita
  • Ini peta ancaman maritim Indonesia menurut Basilio Araujo

Ini peta ancaman maritim Indonesia menurut Basilio Araujo

13 Agustus 2020 20:01 WIB
Ini peta ancaman maritim Indonesia menurut Basilio Araujo
Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim di Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Basilio Dias Araujo, saat diskusi daring "Pengelolaan Ruang dan Sumber Daya Maritim di Tengah Pemulihan Ekonomi" yang digelar Jakarta Defence Studies dan CIDE-PGSD Universitas Paramadinadi, di Jakarta, Kamis (13/8/2020). ANTARA/Abdu Faisal
Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim di Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Basilio Dias Araujo, memaparkan peta ancaman maritim Indonesia.

Di bagian utara, kedaulatan maritim Indonesia dikatakan berhadapan dengan China dengan strategi jalur sutra atau sekarang dikenal sebagai Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road initiative) serta strategi perluasan Laut China Selatan di Laut Natuna Utara.

"Indonesia menghadapi China di Utara dengan konsep silk road-nya atau sekarang dikenal belt and road initiative dan juga strategi perluasan wilayah dari China di atas perairan Laut Natuna Utara," kata Araujo, dalam diskusi daring yang digelar Jakarta Defence Studies dan CIDE-PGSD Universitas Paramadina, di Jakarta, Kamis.

Di bagian selatan, kedaulatan maritim Indonesia dikatakan berhadapan dengan Australia. Menurut dia, Australia meski berkawan, namun kadang juga "suka menohok" Indonesia dari belakang.

"Contoh-contoh yang kita lihat adalah bagaimana Australia memainkan peranan nya di kasus Timor-Timur (Timor Leste) dan juga sering bermain di Papua," kata dia.

Baca juga: TNI AL : ancaman sektor maritim terus berkembang

Di bagian barat, kedaulatan maritim Indonesia dikatakan berhadapan dengan India dengan strategi Look East Policy-nya Perdana Menteri India, Narendra Modi.

"India kelihatan seperti jauh, tapi sebenarnya India tidak jauh-jauh amat dengan Indonesia. Karena wilayah Laut Indonesia di Aceh itu berbatasan langsung dengan wilayah perairan India di Laut Andaman dan Pulau Nicobar," kata dia.

Sementara di Samudera Pasifik, Indonesia menghadapi strategi rebalancing atau containment Amerika Serikat dan strategi Free and Open Indo-Pacific Jepang.

Menurut dia, peta ancaman geografis itu disampaikan untuk dapat disikapi Indonesia dengan strategi politik geografis yang cermat dan terukur. "Indonesia harus betul-betul menakar kekuatannya dan bereaksi secara cermat dan terukur dengan posisinya," kata Araujo.

Baca juga: Indonesia hadapi tantangan di dunia maritim

Dia mengatakan pertimbangan yang paling utama dalam mengelola strategi pemerintahan khususnya sektor maritim adalah kita harus mengetahui posisi kita dalam permainan strategis global.

"Kita harus melihat dan menempatkan posisi kita di atas peta, mengukur kemampuan kita dan kekuatan kita, dan bagaimana memproyeksikan posisi kita dalam interaksi global atau regional, baik secara ekonomi maupun politik," kata Basilio.

Banyak pihak mendukung bila Indonesia melawan China, namun pemerintah tidak boleh bertindak sembarang sebelum memiliki konsep yang cermat dan terukur, karena justru dapat mengancam posisi Indonesia.

"Kita mau melawan China dengan konsep apa? Pernah ada pemikiran untuk Indonesia menghidupkan kembali konsep Jalur Rempah Nusantara yang dikenal pada abad 15 dan tahun 16 ketika Nusantara berhubungan dengan Asia-Eropa. Tapi mau menghidupkan lagi konsep itu dengan apa?," kata dia.

Baca juga: Perdebatan sengketa Laut China Selatan di tengah pandemi COVID-19

Sementara kekuatan China di Samudera Hindia didukung dengan konsep yang mapan dan finansial yang kuat. Lalu pertanyaannya, Indonesia mau didukung dengan apa, kata Basilio.

Sementara, menurut dia, biasanya negara-negara menggunakan dua pendekatan untuk ditempuh dalam menghadapi strategi perluasan wilayah yang dilakukan China, yaitu pendekatan senjata (militer) atau pendekatan hukum.

"Negara besar pada umumnya menggunakan kekuatan militer untuk mendukung nafsu ekspansi nya. Contohnya, kita lihat bagaimana Amerika Serikat dengan China sedang menggunakan kekuatan itu," kata dia.
​​​​​​​
Sementara untuk negara-negara kecil biasanya menggunakan pendekatan hukum. Ia mencontohkan seperti Timor Leste yang menggunakan pendekatan hukum untuk melawan Australia dalam perebutan sumber daya alam di celah Timor atau Filipina dan Malaysia menggunakan pendekatan hukum untuk melawan China.

Baca juga: Laut China Selatan memanas, Wakil Ketua MPR: Perkuat pertahanan negara

"Lalu Indonesia mau pakai pendekatan apa? Indonesia punya kemampuan untuk menggunakan kekuatan militer walaupun pasti akan babak belur. Tapi walau bagaimanapun, Indonesia akan babak belur secara terhormat," lanjut dia.

Ia tak meragukan bahwa Indonesia bisa menggunakan kekuatan militer, namun pemerintah Indonesia saat ini lebih memilih cara-cara yang damai dalam mengatasi ancaman yang ada yakni melalui diplomasi.

Baca juga: Pengamat: Indonesia pantas jadi pereda ketegangan di LCS

Bukan tidak mungkin, menurut Basilio, negara-negara besar akan membantu Indonesia ketika memilih bereaksi dengan pendekatan militer terhadap China.

"Sekarang saja sudah kelihatan, semua negara besar menaruh 'karpet besar' di depan pintu Indonesia untuk menghadapi China jika Indonesia mau bereaksi," kata dia.

Indonesia juga bisa menggunakan pendekatan hukum untuk melawan China seperti Timor Leste melawan Australia atau Filipina melawan China.

"Tapi Indonesia tentu tetap ingin menggunakan penyelesaian damai melalui diplomasi dan penyelesaian yang tidak menimbulkan kesan permusuhan atau penaklukan," kata Araujo.

Baca juga: Bakamla soroti perkembangan situasi keamanan Laut Natuna Utara dan LCS

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020