Menyelamatkan Burung Maleo dari kepunahan

15 Agustus 2020 21:14 WIB
Menyelamatkan Burung Maleo dari kepunahan
Burung maleo (macrocephalon maleo), satwa endemik yang hidup berkembangbiak di kawasan cagar biosfer Lore Lindu.
Sebagai satwa endemik, Burung Maleo (macrocephalon maleo) hanya hidup terbatas di Sulawesi saja, karenanya jumlah satwa itu semakin berkurang.

Populasi Burung Maleo kini semakin terancam karena sering diburu oleh masyarakat baik satwanya maupun telurnya untuk konsumsi dan juga diperdagangkan.

Belum lagi musuh alami yang memangsa telur Maleo seperti babi hutan dan biawak. Habitatnya yang khas juga mempercepat kepunahan.

Maleo hanya bisa hidup di dekat pantai berpasir panas atau di pegunungan yang memiliki sumber mata air panas atau kondisi geothermal tertentu.

Satwa yang terbilang cerdik dan pandai tersebut tidak mengerami telurnya. Setelah bertelur Maleo akan menguburkan telurnya sampai menetas sendiri. Agar dapat bertahan dan menetas, telur harus dikubur di tempat yang hangat seperti di pasir pantai atau kawasan yang dekat sumber air panas.

Seperti di kawasan hutan konservasi Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) di wilayah Desa Saluki, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi (Sulteng). Di lokasi itu, kata Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu, Jusman, sudah ada sistem penangkaran Burung Maleo semi alami.

Lokasi penangkaran dibangun oleh Balai Besar TNLL bekerja sama dengan kelompok masyarakat peduli satwa endemik yang ada di desa itu puluhan tahun lalu.

Telur-telur Maleo yang dipungut dari alam bebas setelah dibawa ke penangkaran, langsung ditanam di dalam lubang ukuran tertentu seperti yang biasa dipakai Maleo menetaskan telur di alam bebas.

Cara meletakkan telur juga harus benar. Jika tidak, dipastikan telur Maleo tidak ada menetas sampai waktunya.

Masa penangkaran telur Maleo berlangsung 65-95 hari. Setelah menetas, anak Maleo berumur dua bulan sudah bisa dilepas ke alam bebas. Selanjutnya satwa itu akan hidup dan berkembang biak di dalam hutan yang terdapat di wilayah hamparan sumber air panas.

Lokasi tempat bertelur maleo di sekitar Hutan Saluki terdapat pada sembilan titik. Maleo tidak akan bertelur tanpa ada sumber air panas.

Baca juga: Maleo Centre DSLNG berhasil tetaskan telur maleo di kawasan konservasi


Diburu

Banyak orang mengincar Burung Maleo karena baik satwanya maupun telurnya berharga mahal dan peminatnya cukup banyak.

Meski sudah ada penangkaran dan dijaga petugas, masih ada juga orang-orang yang memburunya. Apalagi tempatnya jauh dari desa dan di dalam hutan rimba sehingga sangat memungkinkan mereka memburu satwa dan telur burung endemik tersebut untuk diperdagangkan.

Di Lokasi penangkaran itu tidak ada petugas yang menjaga pada malam hari karena semua petugas akan turun ke desa. Jam dinas hanya pada pagi sampai siang hari.

Untuk mengantisipasi pencuri, petugas sudah harus ada di lokasi sepagi mungkin. Jika terlambat, dikhawatirkan sudah ada orang yang lebih dulu mencari telur-telur Maleo di dalam lubang. Sebab tidak sulit mendapatkan telur maleo karena lubangnya mudah diketahui. Pada setiap lubang ada tanda cakar Burung Maleo. Setiap lubang hanya ada satu telur Maleo.

Maleo hidup dan berkembangbiak di alam bebas pada beberapa lokasi di dalam hutan rimba kawasan TNLL, termasuk di Desa Saluki dan Tuva, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi.

Su'ud, seorang Polisi Hutan (Polhut) yang selama beberapa tahun terakhir ditugaskan untuk mengamankan penangkaran Burung Maleo di Desa Saluki mengatakan sebaran habitat Maleo bisa juga dijumpai di Desa Kadidia dan Kamarora, Kecamatan Nokilalaki, Kabupaten Sigi.

Untuk lokasi penangkaran maleo di Desa Saluki, kata dia, terletak di kawasan hutan dalam kawasan Taman Nasional yang hanya bisa dicapai berjalan kaki atau naik sepeda motor menyusuri kebun kakao dan sungai.

Kondisi jalan sangat sulit untuk kendaraan bermotor sehingga perjalanan berkendara harus berakhir di salah satu kebun masyarakat. Selanjutnya harus berjalan kaki sekitar dua kilometer (2 km) melintasi jalan setapak di pinggiran sungai.

Dari Desa Saluki, desa yang terletak pada poros jalan provinsi yang menghubungkan Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah, dengan sejumlah desa di Kecamatan Kulawi, lokasi ke penangkaran Maleo masih berjarak sekitar tujuh kilometer.

Di lokasi penangkaran terdapat beberapa mata air yang terus mengepulkan uap sepanjang hari. Uap tersebut berasal dari air panas di bawah permukaan tanah.

Di sekelilingnya terdapat berbagai jenis pepohonan yang tumbuh rapat dan menarik sehingga dapat memanjakan mata yang seperti tak pernah berkedip menyaksikan kekayaan dan keindahan alam tersebut.

Penangkaran meleo dibangun untuk menyelamatkan dan melindungi satwa endemik itu dari ambang kepunahan akibat sering diburu oleh oknum-oknum yang hanya memikirkan kebutuhan ekonomi.

Padahal, kata Su'ud, Burung Maleo salah satu dari sekian banyak satwa langka yang perlu dilestarikan karena selain endemik di Pulau Sulawesi, keberadaannya juga menjadi aset bagi pemerintah dan masyarakat untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.

Habitat burung maleo juga menjadi salah satu destinasi wisata alam yang menarik dan unik. Tidak heran kalau banyak wisatawan, termasuk mancanegara yang tertarik melihatnya.

Ia mengatakan penangkaran sudah ada sejak 1998. Tempat penangkaran yang ada bisa menampung 100-150 butir telur Maleo.

Meski masih ada masyarakat yang memburu satwa endemik tersebut, namun tinggal satu-dua orang saja. Sebelum adanya penangkaran banyak masyarakat yang mengusiknya untuk diperdagangkan.

Berbagai upaya dan usaha yang dilakukan Balai Besar TNLL antara lain sosialisasi. Masyarakat akhirnya membentuk satu kelompok peduli Maleo di Desa Tuva dan Saluki.

Baca juga: Burung maleo di penangkaran sempat berhasil bertelur


Endemik

Sesuai data di Wallacea terdapat 697 spesies burung, 249 (36 persen) di antaranya endemik. Tingkat sifat endemik ini meningkat menjadi 44 persen jika kita hanya mempertimbangkan burung yang tidak bermigrasi.

Di Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya ada 328 spesies burung, 230 di antara tidak bermigrasi dan 97 spesies endemik, contohnya Burung Maleo.

Untuk mencegah dan meningkatkan kembali populasi Burung Maleo di wilayah cagar biosfer Lore Lindu, selain melalui sistem penangkaran, juga perlu kesadaran masyarakat untuk ikut bersama-sama menjaga, bukan sebaliknya memburu.

Sebab jika satwa maupun telurnya terus diburu untuk kepentingan apapupun juga, maka tidak mungkin suatu saat justru burung endemik yang cantik dan sangat menarik bagi wisatawan itu terancam punah dari keberadaan atau habitatnya.

TNLL merupakan salah satu warisan dunia yang ditetapkan UNESCO menjadi Cagar Biosfer pada 1977. Kini salah satu peran penting TNLL adalah terus berupaya melestarikannya dengan membangun sistem penangkaran sebagai solusi meningkatkan populasi Maleo dari kepunahan.

Dalam Buku Konservasi Maleo di Sulawesi, disebutkan asal usul burung khas kawasan Wallacea ini masih belum jelas. Ada dua teori asal usulnya. Pertama nenek moyang Maleo berasal dari Australia.

Kedua menyebutkan moyang Maleo berasal dari Asia Tenggara sebelum tiba di Australia. Namun persamaan kedua teori itu adalah moyang Maleo telah terisolasi di Australia untuk waktu yang lama dan telah berevolusi menjadi burung yang tidak lagi mengerami telurnya sendiri.

Maleo kemudian menyebar ke Papua Nugini dan pulau-pulau di sekitar Indonesia Timur, termasuk di Sulawesi Tengah.

Burung Maleo berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55 cm. Burung ini memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda keputihan.

Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Jantan dan betina serupa. Biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan.

Baca juga: Menpar lepaskan anak burung maleo di TNBNW

Pewarta: Anas Masa
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020