Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, pandemi COVID-19 menunjukkan sejumlah kerentanan terhadap sistem pangan nasional sehingga harus diarahkan sebagai momentum guna memperbaiknya.... Sekarang adalah momentum untuk memperbaiki kerentanan yang ada, membangun sistem pangan yang tangguh dan tahan atas kejutan, dan memperkuat ketahanan pangan Indonesia yang berkelanjutan
"Kenormalan baru di sistem pangan Indonesia tidak boleh hanya sekedar kembali ke status quo dengan tambahan protokol kesehatan COVID-19. Sekarang adalah momentum untuk memperbaiki kerentanan yang ada, membangun sistem pangan yang tangguh dan tahan atas kejutan, dan memperkuat ketahanan pangan Indonesia yang berkelanjutan," kata Felippa Ann Amanta dalam siaran pers, Kamis.
Menurut Felippa, ketika pandemi, beberapa provinsi mengalami kekurangan atau defisit kebutuhan pokok, seperti beras, gula, jagung, cabai, bawang merah dan bawang putih.
Selain itu, ujar dia, harga beberapa komoditas pangan cenderung naik di saat pendapatan masyarakat Indonesia menurun.
Ia mengingatkan bahwa bila harga jual menjadi anjlok, pendapatan petani pun menurun. Menurunnya pendapatan petani juga tercermin dari Nilai Tukar Petani yang juga ikut turun.
"Sistem pangan Indonesia merupakan suatu sistem kompleks dengan berbagai dimensi, mulai dari produksi domestik, perdagangan internasional, perdagangan melalui pasar, retail, dan horeka, serta rantai pasok diantaranya. Banyak tantangan di sistem ini yang semakin diuji selama pandemi COVID-19, seperti produktivitas domestik yang rendah, proses impor yang terhambat peraturan sendiri dan distribusi pangan," katanya.
Untuk itu, menurut dia, pemerintah perlu memiliki prioritas yang jelas untuk mengoptimalkan penggunaan anggaran serta fokus pada pembenahan produksi pangan.
Felippa menyoroti bahwa awal tahun ini, anggaran Kementerian Pertanian dipangkas Rp7 triliun untuk dialihkan ke penanganan COVID-19.
Di saat yang bersamaan, lanjutnya, kebutuhan stimulus dan program pokok terus bertambah, baik untuk program penguatan produksi maupun program bantuan sosial untuk petani.
Ia menambahkan, produktivitas dan produksi pertanian Indonesia masih belum maksimal untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik.
"Data FAO menunjukkan Indonesia menghasilkan sekitar 5,1 ton beras per hektare pada 2018, lebih tinggi dibanding Malaysia di 4,1 ton per hektare dan Thailand 3,1 ton per hektare. Namun Indonesia masih kalah produktif dengan Vietnam yang bisa menghasilkan 5,8 ton per hektare. Biaya produksi beras Indonesia pun 2,5 kali lebih mahal dibanding Vietnam," ucapnya.
Felippa menyebut ada tiga hal yang perlu diperhatikan saat menentukan arah kebijakan sistem pangan, terlebih dengan memperhatikan konteks COVID-19, yaitu program dan kebijakan harus berbasis data, program dan kebijakan harus terbukti efektif dan efisien, bukan sekadar program populis, serta program dan kebijakan tidak boleh melalaikan aspek keberlanjutan dan perlindungan lingkungan hanya demi percepatan pemulihan semata.
Sebelumnya, Staf Khusus Wakil Presiden RI Lukmanul Hakim menyatakan untuk meningkatkan produksi dan ketahanan pangan di tengah pandemi COVID-19 diperlukan kolaborasi multisektor, yang melibatkan pemerintah, petani, dunia usaha, lembaga keuangan, perguruan tinggi, dan partisipasi masyarakat.
"Dengan kerja sama, sinergi, dan gotong royong semua sektor, produksi pangan akan meningkat signifikan untuk memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor," ujar Lukmanul Hakim di Jakarta, Kamis (13/8).
Menurut Stafsus Wapres yang membidangi sektor ekonomi dan keuangan ini, ada empat pilar ketahanan pangan yang harus menjadi perhatian semua pemangku kepentingan yaitu, ketersediaan pangan, akses pangan, pemanfaatan pangan, dan stabilitas pangan.
Baca juga: Kepala Balitbangtan: Pangan lokal berkhasiat tingkatkan sistem imun
Baca juga: Hadapi normal baru, Kementan kuatkan sistem logistik pangan
Baca juga: Mentan SYL rumuskan sistem Kontras Tani kedaulatan pangan
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020