Ketika upaya pemulihan ekonomi harus berjalan terseok-seok karena jumlah kasus COVID-19 di dalam negeri terus bertambah dengan skala yang makin besar, ihwal resesi cukuplah diinformasikan apa adanya dan didukung data terkini.Dinamika kehidupan di belasan negara yang sudah resesi teknikal pun berlangsung baik-baik saja, alias tidak ada gejolak.
Pandemi COVID-19 sudah membuat kehidupan semua komunitas tidak nyaman, sehingga deskripsi tentang resesi tak perlu didramatisir atau dijadikan teror kepada masyarakat.
Resesi ekonomi sebagai akibat dari pandemi global COVID-19 itu predictable. Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Virus Corona menjadi pandemi global, banyak orang awam sekalipun sudah bisa menghitung apa akibatnya, terutama terhadap sektor ekonomi.
Sejak awal pandemi sudah dimunculkan perkiraan dan perhitungan tentang resesi baik oleh tim ekonomi pemerintah maupun oleh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), hingga Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Baca juga: Ketua IMF: Kita sekarang dalam resesi, lebih buruk dari krisis 2008
Karena fakta tentang saling ketergantungan di sektor ekonomi, semua negara menerima dan merasakan ekses dari pandemi. Melemahnya kinerja perekonomian global menyeret puluhan negara masuk ke zona resesi. Kinerja ekonomi melemah karena putaran mesin ekonomi sengaja dan harus dihentikan sementara dalam kerangka penguncian atau lockdown itu.
Penguncian harus dilakukan sebagai cara mengendalikan penularan COVID-19. Sudah barang tentu akibatnya bisa dikalkulasi. Sejak awal Agustus 2020 belasan negara secara teknikal dilaporkan sudah resesi.
Sebagaimana sedang dirasakan bersama, perekonomian nasional pun tak luput dari ekses pandemi COVID-19. Setelah masih bisa mencatat pertumbuhan positif pada kuartal I-2020, perekonomian nasional terkontraksi atau tumbuh negatif di kuartal dua tahun ini. Prediksi ini pun sudah dipaparkan satu-dua bulan lalu.
Ekonomi Indonesia tumbuh negatif sebagai konsekuensi dari penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Saat PSBB diterapkan, pabrik tidak berproduksi. Bekerja dan belajar pun cukup dari rumah saja. Konsumsi rumah tangga pun sempat menurun karena banyak keluarga menahan diri atau menunda belanja.
Baca juga: Luhut: kalau resesi, kita siap hadapi
PSBB perlu diterapkan guna mengendalikan atau memutus rantai penularan COVID-19. Mengacu pada data dan wilayah penularan COVID-19, Indonesia pun terpaksa harus menerapkan PSBB justru di pusat-pusat pertumbuhan seperti Jakarta dan semua kota besar di pulau Jawa. Dampaknya pun cukup mudah untuk dikalkulasi.
Pilihan atas PSBB atau penguncian praktis tak terhindarkan karena aspek kesehatan atau keselamatan semua orang menjadi keutamaan yang tidak boleh ditawar-tawar.
Kalau baru pada kuartal II-2020 terjadi kontraksi, perekonomian Indonesia belum bisa dikatakan resesi teknikal. Asumsi tentang resesi teknikal terpenuhi jika terjadi kontraksi dua kuartal berturut-turut. Karena itu, siapa pun hendaknya tidak memaksakan pandangan, asumsi atau penilaian pribadi maupun kelompoknya bahwa perekonomian Indonesia sudah masuk jurang resesi.
Apalagi jika diasumsikan akan terjadi krisis ekonomi. Tidak etis jika pandangan atau asumsi seperti itu dijejalkan ke ruang publik secara berkelanjutan untuk mempengaruhi atau menakut-nakuti orang banyak. Dalam situasi ketidakpastian seperti sekarang, antar-komunitas seharusnya saling menguatkan dan membangun harapan dengan menerapkan protokol kesehatan.
Baca juga: Erick Thohir fokus pemerintah pulihkan kesehatan dan ekonomi bangkit
Boleh saja diasumsikan bahwa perekonomian Indonesia sedang menuju zona resesi teknikal karena kuartal II-2020 tumbuh negatif. Menuju zona resesi teknikal tidak sama dengan resesi itu sendiri.
Kalau pada kuartal III-2020 kecenderungannya bisa lebih baik dibanding kuartal sebelumnya, harus juga berani diasumsikan bahwa perekonomian Indonesia mulai berbalik arah atau menjauh dari zona resesi teknikal. Resesi teknikal bukanlah krisis. Dinamika kehidupan di belasan negara yang sudah resesi teknikal pun berlangsung baik-baik saja, alias tidak ada gejolak.
Walaupun terjadi kontraksi, perekonomian nasional cenderung mulai bergerak ke arah positif. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani melihat data kenaikan konsumsi listrik sebesar 5,4 persen per Juni 2020 sebagai sinyal positif, jika dibandingkan dengan konsumsi listrik Mei 2020 yang minus 10,7 persen.
Begitu juga dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman yang per Juni 2020 mulai positif di level 10 persen, setelah minus hampir 50 persen sepanjang Mei 2020. Sub-sektor perdagangan eceran dan perdagangan besar juga menunjukkan kecenderungan positif.
Baca juga: Gubernur BI paparkan strategi RI terhindar dari resesi
Indikator-indikator itu menjelaskan bahwa permintaan atau konsumsi dalam negeri secara bertahap mulai menguat lagi. Ketika permintaan pasar mulai bertumbuh, harus ada upaya maksimal dan dengan penuh kehati-hatian untuk menghidupkan lagi mesin perekonomian atau produksi.
Untuk merawat serta memperkuat permintaan itulah Komite Pemulihan Ekonomi Nasional mulai merealisasikan beberapa program yang fokus pada upaya merawat kekuatan konsumsi sejumlah komunitas, mulai dari komunitas pekerja, pegawai atau tenaga honorer, pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) hingga ibu rumah tangga. Untuk 12 juta pelaku UMKM, pemerintah menyiapkan bantuan Rp 2,4 juta untuk setiap unit usaha.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan stimulus usaha bagi 6,2 juta untuk ibu rumah tangga korban PHK dan pelaku usaha mikro dengan kredit modal kerja tanpa bunga sebesar Rp 2 juta per debitur. Tidak kurang dari 13 juta karyawan swasta dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan pun akan mendapatkan bantuan Rp 600.000 per bulan. Komunitas pekerja berstatus pegawai honorer atau bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga akan menerima bantuan dengan jumlah yang sama.
Baca juga: BI: Kita tidak menuju suatu titik resesi, ini indikatornya
Pendekatan dengan program bantuan seperti ini memungkinkan perekonomian nasional menjauh dari zona resesi pada kuartal-kuartal berikutnya. Di sisi lain, program bantuan seperti itu juga menjadi bukti bahwa negara masih mampu merespons ketidakpastian sekarang ini dengan cara merawat ketahanan ekonomi beberapa komunitas yang kontribusinya relatif signifikan bagi perekonomian.
Akhir-akhir ini, di tengah tingginya lonjakan kasus COVID-19, masyarakat perkotaan yang notabene adalah pusat pertumbuhan mulai berani melakukan aktivitas produktif.
Kecenderungan ini tentu saja berkontribusi besar upaya bersama menjauh dari zona resesi teknikal. Agar kecenderungan ini tidak menghadirkan risiko, pemerintah daerah pada semua kota besar di Pulau Jawa hendaknya berupaya keras mendorong masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Pulau Jawa sebagai pusat pertumbuhan memang harus mendapat perhatian khusus karena 74 persen kasus COVID-19 tercatat pulau ini.
*) Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI
Pewarta: Bambang Soesatyo *)
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020