Sejauh mata memandang, hanya terlihat tumpukan sampah bercampur dengan hewan ternak sapi yang sedang mencari makanan.
Memang miris sekali. Pasalnya berbeda sekali dengan program nihil sampah (Zero Waste) yang digadang-gadang oleh pemerintah setempat. Terlebih lagi, areal tumpukan sampah itu menuju ke arah obyek wisata, dimana wisatawan bisa melihat "permadani" lahan pertanian bawang putih milik warga.
Padahal kawasan wisata Sembalun terus berbenah. Pembangunan sarana publik pun tak luput dipoles pemerintah, sejak dibukanya kawasan wisata di kaki Gununh Rinjani yang selalu memanjakan setiap mata para wisatawan lokal maupun manca negara dengan panorama alam nan indah serta udaranya yang sejuk, sehingga membuat wisatawan betah dan berkali-kali berkunjung ke Sembalun.
Berbeda jauh dengan kondisi saat ini, seakan melupakan keindahan dan kebersihan kawasan tersebut. Terlebih lagi pada 22 Agustus 2020, Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) resmi dibuka untuk pendakian.
Benar-benar, sangat disayangkan hal itu terjadi. Entah apa lagi kekurangan dukungan dan perhatian dari pemerintah maupun dinas terkait, untuk mengatasi persoalan sampah di Sembalun. Ataukah minimnya kesadaran dari masyarakat itu sendiri, terlebih pada musim penghujan tidak bisa dibayangkan tumpukan sampah hingga ke badan jalan raya Sembalun.
"Sayang saja kondisi sampah ini masih belum terselesaikan. Kita tidak enak juga melihatnya," kata Imron, salah seorang warga Jakarta yang pernah berkunjung ke obyek wisata Bukit Selong.
Baca juga: DLHK NTB tawarkan perempuan Sembalun olah sampah jadi bahan bakar
Kurang sadar
Disebutkan, pemerintah setempat harus segera memikirkan persoalan sampah itu. "Khususnya wisatawan asing, mereka paling memperhatikan soal sampah itu," katanya.
Salah seorang warga setempat mengakui banyaknya sampah itu akibat kurangnya kesadaran dari warga yang masih banyak membuang sampah sembarangan.
"Memang perlu ada kesadaran dari warga untuk tak membuang sampah sembarangan," katanya.
Sebelumnya, Camat Sembalun, M Zaidar Rahman, pernah mengakui bahwa warga desa masih memanfaatkan sungai sebagai tempat membuang sampah karena belum ada sarana dan prasarana yang memadai, baik tempat pembuangan sementara maupun tempat pembuangan akhir.
"Persoalan sampah memang menjadi tanggung jawab semua pihak, bukan tugas pemerintah saja. Kita bangun sarana prasarana dari dana desa itu saja tidak cukup. Butuh kesadaran semua pihak," katanya dalam acara perempuan berbincang di Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Selasa (11/8).
Kepala Desa Sembalun Bumbung, Sunardi, juga mengakui bahwa sebanyak enam desa di Kecamatan Sembalun, menghadapi persoalan sampah, khususnya di Desa Sembalun Bumbung.
Ia menyebutkan volume sampah yang dihasilkan oleh warga Desa Sembalun Bumbung, sekitar 5.000 kilogram per hari, baik sampah organik maupun anorganik berupa plastik.
Semua sampah tersebut dibuang sembarangan, baik di sungai maupun di pinggir kawasan hutan.
"Kami sudah mencoba untuk menggalakkan program Olah Sampah Tuntas (Osamtu), dan sekarang sedang berjalan di tingkat rumah tangga," ujarnya.
Baca juga: Warga Sembalun Rinjani Lombok masih buang sampah di sungai
Darurat sampah
Pendiri Komunitas Perempuan Sembalun Belajar, Baiq Sri Mulya, juga mengakui bahwa Kecamatan Sembalun sebagai destinasi wisata dan pintu masuk pendakian Gunung Rinjani, sudah masuk kategori darurat sampah. Sebab, perhatian terhadap infrastruktur dasar, seperti manajemen sampah sangat kurang.
"Sungai, hutan, pinggir jalan, selokan dan jembatan, rumpun bambu bahkan tanah lapang dijadikan sebagai tempat pembuangan," ucap Baiq.
Ia juga mengkritisi program-program yang telah dijalankan, seperti Bank Sampah di Desa Sembalun, dan TPST3R di Desa Sembalun Bumbung, meskipun sudah dibangun dengan luar biasa bagus, tetapi tidak bisa menjadi solusi karena besarnya faktor kegagalan.
Menurut Baiq, perempuan sebagai pemangku urusan domestik keluarga adalah kelompok masyarakat yang paling merasakan dampak dari Sembalun darurat sampah. Sebab, tidak ada solusi dan edukasi pun kurang berarti.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Nusa Tenggara Barat Madani Mukarom, mengakui bahwa sampah menjadi persoalan yang serius di Kecamatan Sembalun sebagai destinasi wisata agro dan pintu masuk pendakian Gunung Rinjani. Sebab, masyarakat di daerah itu membuang sampah sembarangan, terutama di sungai.
Sampah di Sembalun juga menjadi bagian dari 3,5 juta ton sampah yang dihasilkan oleh masyarakat NTB setiap hari. Dari jumlah tersebut, baru 20 persen saja yang sudah diolah, sisanya sebesar 80 persen dibuang ke sungai, laut, dan pinggir kawasan hutan.
Madani juga mengaku belum mengetahui secara pasti berapa volume sampah yang dihasilkan oleh warga di Kecamatan Sembalun, termasuk dari aktivitas industri pariwisata yang berkembang di kawasan kaki Gunung Rinjani tersebut.
"Tapi bisa dikalkulasikan setiap jiwa penduduk memproduksi sampah sebesar 0,7 kilogram per hari. Tinggal kalikan saja dengan jumlah penduduk Kecamatan Sembalun sekitar 22 ribu jiwa. Belum termasuk wisatawan yang berkunjung," ujarnya.
Baca juga: Siska Nirmala, berpetualang menyebarkan "racun" anti sampah
Pelatihan olah sampah
Dia menawarkan kaum perempuan di Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, ikut pelatihan mengolah sampah menjadi pelet bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebagai solusi permasalahan limbah plastik di kawasan wisata.
"Kalau mereka siap untuk dilatih, kami bisa kirim untuk dilatih di PLTU Jeranjang yang sudah memanfaatkan pelet dari sampah sebagai substitusi batu bara," kata Madani usai mengikuti acara perempuan berbincang di Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Selasa.
Acara perempuan berbincang yang digelar oleh Komunitas Perempuan Sembalun Belajar tersebut mengangkat tema "Sembalun Darurat Sampah dan Darurat Air".
Ia mengakui bahwa sampah menjadi persoalan yang serius di Kecamatan Sembalun sebagai destinasi wisata agro dan pintu masuk pendakian Gunung Rinjani. Sebab, masyarakat di daerah itu masih membuang sampah sembarangan, terutama di sungai.*
Baca juga: Kementerian LHK izinkan wisata pendakian Gunung Rinjani Lombok
Pewarta: Riza Fahriza/Awaludin/Rosidin
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020