Akademisi mengingatkan pembukaan lahan perkebunan dengan cara membakar, sebagai salah satu kearifan masyarakat lokal, memiliki risiko tinggi dan berbahaya akibat pergeseran atau anomali iklim.Pembukaan lahan dengan membakar, tidak cocok untuk membangun perkebunan karena lahan yang dibutuhkan sangat luas
Staf pengajar Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Basuki Sumawinata mengatakan pergeseran musim berkepanjangan itu menyebabkan lahan kering dan mudah terbakar sehingga pembakaran bisa melenceng dan justru berpotensi menjadi bencana.
"Pembakaran lahan sebagai kearifan lokal yang dilakukan masyarakat lokal di Kalimantan Barat pada awalnya hanya dilakukan pada kegiatan perladangan yang berpindah. Namun, dengan kondisi saat ini yakni perladangan menetap kegiatan membuka lahan harus dikombinasikan dengan mekanisasi pertanian agar tidak berisiko tinggi," ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Baca juga: Butuh terobosan baru atasi kebakaran hutan dan lahan
Dikatakannya, para petani tradisional melakukan pembakaran lahan dengan tujuan membersihkan lahan sambil memberikan abu kepada tanah sebagai upaya meningkatkan pH tanah atau menurunkan keasaman dan membuat unsur hara lebih tersedia.
"Pembakaran lahan ini hanya cocok untuk bercocok tanam padi palawija. Biasanya, setelah melewati beberapa bulan tanah kembali ke pH asalnya. Begitu juga setelah unsur hara tercuci, tanah menjadi miskin lagi," kata Basuki.
Karena itu, petani untuk siklus berikutnya membuka lahan di lokasi lain, yang setelah beberapa tahun mungkin saja kembali ke siklus semula.
Menurut dia, pembukaan lahan dengan membakar, tidak cocok untuk membangun perkebunan karena lahan yang dibutuhkan sangat luas.
Selain itu, kebutuhan hara untuk perkebunan berlangsung terus menerus sehingga tidak bisa dicukupi oleh abu yang terbentuk saat pembakaran lahan pada saat pembersihan lahan.
Basuki mengatakan, terbitnya Pergub Kalbar 103 Tahun 2020 memerlukan bimbingan dan pengawasan ketat dalam luasan yang terkontrol. "Tanpa kontrol ketat, potensi karhutla tetap dapat terjadi kapan saja."
Sementara itu, pengamat hukum lingkungan dan kehutanan Sadino mengatakan kalaupun diterapkan kebijakan itu mempunyai risiko karena api yang membakar lahan tidak bisa dipastikan hanya dapat diisolasi dalam radius dua hektare saja.
"Kontrol harus dilakukan mulai dari tingkat tapak yakni masyarakat yang akan membuka lahan. Ketentuannya, misalnya masyarakat hanya diperbolehkan membakar di lahan mineral, pembakaran rumput diawasi secara ketat dan hanya boleh dilakukan pada awal musim basah dan sebagainya," katanya.
Pergub juga harus mampu menjelaskan secara detail mengenai substansi aturan teknis serta batasan-batasan yang ketat terutama ketika memasuki kemarau agar tidak menjadi bumerang seperti meluasnya titik api (hotspot).
"Hal ini karena Kalimantan Barat sebagian besar lahannya gambut dan sulit menanganinya ketika terbakar," katanya.
Di sisi lain, Sadino mengingatkan program pencegahan karhutla pada dasarnya perlu mengikuti ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku, sehingga ada sinkronisasi dengan kebijakan karhutla yang diterapkan BNPB
Menurut dia, sebaiknya untuk mengakomodasi kearifan lokal bagi masyarakat harus diciptakan jalan keluar, misalnya pemerintah daerah dan BNPB yang membantu melakukan penyiapan lahan agar karhutla dapat terkendali dan mencegah ulah manusia untuk melakukan pembakaran lahan untuk usahanya.
Baca juga: BRG: Upaya pencegahan karhutla bukan tanggung jawab desa semata
Baca juga: Sumatera Selatan siagakan sembilan unit helikopter atasi karhutla
Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020