Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho menilai standar peralatan pemadam kebakaran (Damkar) di Ibu Kota belum ideal, belajar dari kasus pemadaman kebakaran di Kantor Kejaksaan Agung yang berlangsung lama.Minimnya petugas ini menyebabkan tidak optimalnya pengawasan terhadap kesiapsiagaan gedung-gedung di Jakarta dalam menghadapi kebakaran
"Bisa dilihat dari cepatnya kebakaran yang terjadi dan lamanya penanganan kebakaran tersebut," kata Teguh kepada ANTARA saat dihubungi melalui pesan instan, Senin.
Baca juga: Ombudsman DKI minta Pemprov ubah Pergub 41/2020 jadi Perda
Penilaian ini berdasarkan hasil rapid assessment tahun 2019 yang dilakukan Ombudsman Jakarta Raya terkait tata kelola penanganan kebakaran oleh Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta.
Ada empat catatan Ombudsman, yakni pertama masih minimnya tenaga (petugas) pengawasan fasilitas kebakaran dan keamanan gedung dalam menghadapi kebakaran.
"Minimnya petugas ini menyebabkan tidak optimalnya pengawasan terhadap kesiapsiagaan gedung-gedung di Jakarta dalam menghadapi kebakaran," ujar Teguh.
Baca juga: Ombudsman Jakarta temukan potensi maladministrasi penanganan COVID-19
Lebih lanjut Teguh mengatakan, ada kecenderungan gedung pemerintah memiliki standar keamanan gedungnya dari kebakaran lebih minim daripada gedung swasta.
Terutama potensi kebakaran dari korsleting listrik akibat pengelolaan jaringan listrik yang buruk.
"Pengawasan ini akhirnya diserahkan kepada masing-masing pengelola gedung," ujarnya.
Selain itu, pengawas gedung oleh Damkar DKI Jakarta terkait kesiapsiagaan dalam menghadapi kebakaran dilakukan secara acak (random).
Potensi kedua, dari sisi peralatan dan personel Damkar DKI secara proporsional belum mencapai angka ideal untuk penanganan kebakaran.
Baca juga: Ombudsman DKI sarankan pembatasan mobilitas warga sesuai PSBB
"Sebagai kota megapolitan yang setara dengan New York, SDM dan fasilitas kita jauh dibanding New York," katanya.
Ombudsman juga menyoroti, status tenaga Damkar di DKI Jakarta yang mayoritas merupakan tenaga honorer dengan beban kerja dan risiko kerjanya tinggi, tapi pendapatannya (honor) sama dengan tenaga kebersihan dan pramubakti kantor PPSU atau PJLP.
"Untungnya, pelatihan standar kemampuan mereka tetap diasah di Pusdiklat Damkar DKI," ujar Teguh.
Selanjutnya, yang ketiga adalah potensi air yang masih dikelola swasta menyebabkan penggunaan air bersih yang tidak menguntungkan seperti banyak hidran yang tidak teraliri air.
Kondisi ini, lanjut Teguh, saat dibutuhkan, jumlah dan tekanan air tidak memadai untuk memadamkan api pada saat kebakaran terjadi.
Yang keempat, terkait layanan 112 untuk pelaporan kebakaran, walau sudah terintegrasi, tapi mekanisme koordinasinya masih konvensional, dalam artian telpon ke 112 tidak langsung terhubung ke Damkar. Petugas 112 tetap menelpon ulang ke tim Damkar DKI dan menyebabkan waktu tunggu (delay time) masih tinggi.
"Padatnya lalu lintas di Jakarta yang meyebabkan lambatnya penanganan kebakaran, selain belum berfungsinya komunitas perbantuan kebakaran di kelurahan-kelurahan," ujar Teguh.
Di akhir penjelasannya, Teguh menyampaikan, Ombudsman Jakarta Raya menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan terkait kebakaran yang terjadi di Kantor Kejaksaan Agung.
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2020