Pakar psikologi politik Universitas Indonesia Prof Hamdi Muluk mengatakan secaraperempuan dalam melindungi diri agar tidak tertular dan menulari COVID-19 lebih tinggi
psikologi dan melihat perilaku bahwa perempuan relatif lebih terlindungi dari COVID-19 daripada laki-laki.
"Studi dari seluruh negara memang menunjukkan perilaku perempuan dalam melindungi diri agar tidak tertular dan menulari COVID-19 lebih tinggi," kata Hamdi dalam bincang-bincang Satuan Tugas Penanganan COVID-19 yang disiarkan akun Youtube BNPB Indonesia dari Graha BNPB, Jakarta, Senin.
Hamdi mengatakan secara kognitif, perempuan lebih takut tertular COVID-19 karena persepsi risiko mereka lebih tinggi. Hal itu berbeda dengan laki-laki yang persepsi risikonya lebih rendah bahkan cenderung menganggap enteng COVID-19.
Hal itu diperkuat oleh faktor budaya yang mencitrakan laki-laki sebagai sosok yang maskulin dan perkasa sehingga dianggap tidak akan tertular COVID-19.
Menurut Hamdi, pandangan tersebut jelas suatu hal yang keliru karena virus tidak memandang laki-laki atau perempuan saat menjangkiti.
Baca juga: Menteri Desa PDTT komitmen libatkan perempuan dalam pembangunan desa
Baca juga: Menteri PPPA sebut produk perempuan Sulsel miliki potensi
"Secara psikologi laki-laki juga memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam mengambil risiko. Karena itu, laki-laki lebih banyak keluar rumah. Apalagi sebagai kepala rumah tangga, laki-laki harus keluar rumah untuk bekerja," tuturnya.
Karena itu, perlu peran perempuan yang biasanya merupakan pengambil keputusan akhir di dalam rumah tangga dan lebih disiplin, termasuk dalam menjalankan protokol kesehatan.
"Biasanya, istri lebih disiplin dan lebih kuat dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. Masalahnya ketika laki-laki berada di luar rumah, kemudian tidak ada pengawasan. Padahal, kepatuhan dalam menjalankan protokol kesehatan di ruang publik lebih rendah daripada di tingkat rumah tangga," katanya," jelasnya.
Hamdi mengatakan secara psikologis dan naluri, perempuan lebih perhatian kepada keluarga, lebih waspada, dan lebih patuh terhadap protokol kesehatan karena memiliki persepsi risiko yang lebih tinggi.
"Karena itu, perempuan lebih bisa diandalkan untuk menjadi agen perubahan terhadap adaptasi kebiasaan baru di banyak tempat," katanya.
Baca juga: Cara perempuan adat bertahan di masa pandemi COVID-19
Baca juga: Peneliti: Pemulihan ekonomi pascapandemi butuh kontribusi perempuan
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020