• Beranda
  • Berita
  • Penyakit kusta masih tinggi karena kurangnya edukasi masyarakat

Penyakit kusta masih tinggi karena kurangnya edukasi masyarakat

1 September 2020 12:59 WIB
Penyakit kusta masih tinggi karena kurangnya edukasi masyarakat
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto.
Kementerian Kesehatan menyebutkan prevalensi penyakit kusta masih tinggi di Indonesia dikarenakan kurangnya edukasi masyarakat akan penyakit tersebut sehingga terlambat diobati dan menularkan pada orang lain.

"Ini disebabkan karena masih terjadinya penularan di masyarakat. Masih ada penderita di tengah-tengah masyarakat dan belum diobati dengan baik maka terjadi penularan di masyarakat," kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto dalam konferensi pers daring di Jakarta, Selasa.

Penularan yang masih terjadi tersebut dikarenakan penderita kusta yang belum ditemukan dan belum diobati hingga rantai penularan dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini masih terus terjadi.

Yurianto menjelaskan pemahaman masyarakat tentang penyakit kusta juga masih kurang, atau bahkan masih ada yang menganggapnya sebagai penyakit kutukan. Oleh karenaya Kementerian Kesehatan berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penyakit tersebut dengan edukasi secara intens agar muncul kewaspadaan secara dini di tengah masyarakat.

Baca juga: Dinkes diminta segera tangani penderita kusta di Seram Bagian Timur

Baca juga: Kota Makassar targetkan bebas kusta 2025


Dirjen P2P itu menyebut Kementerian Kesehatan telah berupaya memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya yang berada di daerah dengan cara informal agar lebih bisa dipahami. Namun, kata Yurianto, proses edukasi masyarakat itu butuh waktu.

Yurianto juga menerangkan Kemenkes menyasar petugas kesehatan di daerah agar secara dini bisa mendeteksi keberadaan penyakit tersebut di masyarakat agar bisa meresponnya secara dini pula.

"Intervensi kusta yaitu dengan temukan secara cepat, dan obati secara tepat. Ini penting untuk memutus rantai penularan, dan secepatnya agar bisa mencegah penderitanya tidak jatuh dalam kondisi yang lebih berat," katanya.

Kemenkes menyebut angka kematian akibat penyakit kusta tergolong rendah. Namun, yang dikhawatirkan adalah kecacatan permanen yang dialami oleh penderitanya sehingga bisa mengganggu produktivitas masyarakat.

Kusta merupakan infeksi pada saraf dan kulit yang disebabkan oleh mycobacterium leprae. Penularannya melalui pernapasan, udara, dan kontak langsung dengan penderita yang belum diobati.

Faktor yang mempengaruhi penularan kusta adalah salah satunya penderita kusta yang belum mengonsumsi obat Kusta. Masa inkubasi perlu waktu lama (rata-rata 3-5 tahun) dan kejadian penyakit ini terbanyak pada negara tropis.

Bentuk kelainan pada tubuh yang menderita kusta bisa berbeda. Pada kulit ditandai dengan bercak putih maupun bercak merah dan mati rasa, kadang berupa benjolan-benjolan di lengan, wajah, badan, dan telinga. Pada saraf tepi ditandai dengan mati rasa pada area telapak tangan dan atau telapak kaki yang mengalami kerusakan saraf, kelumpuhan di tangan dan kaki, kering, dan tidak berkeringat.*

Baca juga: Ahli: Bakteri penyebab kusta berpotensi kebal terhadap obat

Baca juga: Kemenkes ajak masyarakat hapus diskriminasi terhadap penderita kusta

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020