Pengamat ekonomi energi Marwan Batubara menilai kinerja Pertamina yang mengalami proses kerugian juga terkait pula kepada penerapan aturan dan prinsip good corporate governance (GCG) atau tata kelola korporasi yang baik.
“Maklum jika banyak perusahaan merugi pada masa pandemi corona. Kerugian bisa besar atau bisa kecil. Namun ada juga perusahaan migas yang masih untung, seperti Cinopec China, PTT Thailand, Indian Oil Company Ltd., Petronas. Untuk kasus Pertamina, kerugian tidak otomatis dapat diterima. Ada tanggung jawab dari pemerintah,” kata Marwan di Jakarta, Rabu.
Marwan menyoroti bahwa pertama, Pertamina harus membayar signature bonus (SB) Blok Rokan sebesar 784 juta dolar AS (sekitar Rp 11,3 triliun), padahal sesuai Pasal 33 UUD 1945, mengelola Blok Rokan hak mandatory Pertamina.
Meskipun baru mengoperasikan Rokan Agustus 2021, lanjutnya, Pertamina harus membayar SB pada 2018/2019. Untuk itu Pertamina harus menerbitkan surat utang.
Ia berpendapat bahwa seharusnya cadangan blok Rokan diperhitungkan sebagai penyertaan modal negara (PMN), tanpa SB, dan berlaku sejak pengelolaan dimulai Pertamina Agustus 2021.
Baca juga: Pertamina sebut hingga Juli, produksi migas capai 98 persen
Kedua, masih menurut dia, Pertamina harus membeli minyak mentah domestik dengan harga Indonesia Crude Price (ICP) lebih mahal sekitar 8 dolar per barel (Banyu Urip) dan 11 dolar per barel (Duri) dibanding ICP jenis lain.
Hal ini, ujar Marwan, terlihat pada Kepmen ESDM No.79.K/2020 tanggal 1 April 2020. Kepmen ini berlaku untuk ICP Maret 2020. Untuk bulan-bulan lain, antara Januari-Juni 2020, diperkirakan anomali perbedaan harga masih sama.
Ketiga, Pertamina harus menanggung beban biaya subsidi BBM dan LPG sejak April 2017. Menurut Dirkeu Pertamina Emma Sri Martini pada RDPU Komisi VII DPR, akumulasi tanggungan Pertamina tersebut adalah Rp96,5 triliun kompensasi dan Rp 13 triliun subsidi, sehingga total beban kebijakan tersebut adalah Rp109,5 triliun.
"Utang pemerintah ini memang kelak akan dibayar, tapi jadwalnya tidak jelas, terutama karena besarnya defisit APBN akibat corona. Jika tak segera dilunasi, Pertamina justru terancam gagal bayar atau default," ucap Marwan.
Ia juga mengemukakan bahwa selain ketiga faktor penyebab di atas, Pertamina juga harus menanggung beban kebijakan lain berupa PSO BBM satu harga, PSO kuota berlebih LPG 3kg, pembangunan rumah sakit untuk COVID-19, serta akuisisi perusahaan Maurel dan Prom Prancis.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI beberapa waktu lalu, Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan ada tiga faktor utama penyebab kerugian Pertamina yaitu turunnya harga minyak dunia, kondisi kurs rupiah terhadap dolar AS dan permintaan BBM.
Baca juga: Penjualan BBM turun hingga 26 persen sebabkan Pertamina merugi
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2020