Dalam webinar mengenai masalah dan solusi perkara perceraian di Indonesia pada Kamis, Aco mengatakan bahwa pandemi COVID-19 memang mempengaruhi kondisi ekonomi sebagian warga, tapi tidak sampai menjadi pemicu utama perceraian suami-istri.
Menurut dia, perkara perceraian yang masuk ke pengadilan sepanjang Januari-Agustus 2020 lebih banyak disebabkan oleh perselisihan dan pertengkaran terus menerus pasangan suami istri, faktor ekonomi, dan satu pihak meninggalkan pihak yang lain.
Kondisi pengadilan agama yang belakangan sering penuh, ia melanjutkan, tidak bisa menjadi indikator peningkatan kasus perceraian karena warga tidak hanya datang ke pengadilan untuk mengurus perceraian.
"Mereka yang datang ke pengadilan itu tidak mengurus perceraian saja tapi ada perkara lain. Tidak bisa diambil kesimpulan bertumpuknya orang di pengadilan akibat COVID-19 atau terkena PHK dirumahkan. Ada efek pandemi tapi tidak signifikan," katanya.
Di samping itu, ia mengatakan, selama pandemi protokol kesehatan mewajibkan pengunjung pengadilan menjaga jarak sehingga sebagian warga harus menunggu di luar karena kapasitas ruang pengadilan terbatas.
"Sarana prasarana yang ada di kami misalnya 100 kursi tidak boleh diisi semua, hanya 50 yang bisa. Sisa 50 berada di luar ruangan kemudian pengadilan terlihat menumpuk," katanya.
Aco menilai ketahanan keluarga di Indonesia masih tergolong kuat, tidak mudah terganggu oleh masalah-masalah yang muncul akibat pandemi COVID-19.
"Saya menilai masih ada harapan umat Islam mempertahankan rumah tangganya meski ada efek dari lapangan kerja, pendapatan hilang, sehingga kehidupan rumah tangga berkurang pendapatannya," katanya.
Baca juga:
Selama pandemi COVID-19, hampir 5 ribu pasutri Sukabumi bercerai
Kasus perceraian di Pulau Jawa meningkat selama pandemi COVID-19
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2020