Direktur LAPPAN, Bai Hadjar Tualeka kepada ANTARA, mengatakan kegiatan tersebut bertujuan mengajak kaum wanita dari berbagai komunitas korban konflik, untuk merefleksi kembali tregedi kemanusiaan yang pernah terjadi di provinsi itu pada Januari 1999, sebagai proses pembelajaran agar tidak terulang kembali di masa mendatang.
"Kami berharap konflik kemarin bukan hanya menjadi sejarah bagi orang Maluku, tetapi menjadi proses pembelajaran bagi masyarakat untuk belajar dari masa lalu, agar kekerasan tersebut tidak terulang lagi," katanya.
Kegiatan refleksi itu melibatkan kaum wanita dari kelompok-kelompok majelis ta`lim dan Unit perempuan Gereja Protestan Maluku (GPM) di berbagai kawasan di Ambon yang tergabung dalam komunitas "Bangkit dan Bersuara" untuk mengeksplorasi persoalan perempuan di tingkat masyarakat.
Menurut dia, pasca konflik banyak terjadi masalah yang melibatkan perempuan, diantaranya kurangnya pengetahuan tentang akses pendidikan, layanan kesehatan, pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (JAMKESMAS).
"Persoalan perempuan sangat kompleks. Dengan kegiatan ini kami bisa bersama-sama memikirkan jalan keluarnya," kata Tualeka.
Ia menyatakan, sulit bagi perempuan untuk mencari keadilan apabila mereka sendiri tidak memiliki akses untuk menyampaikan apa yang terjadi, sehingga perlu adanya konsolidasi gerakan perempuan untuk saling mendukung dalam menyuarakan hak-hak mereka, di samping mendorong upaya pemerintah dalam memberikan layanan yang terbaik bagi kaum perempuan.
"Gerakan ini dapat menginspirasi kaum perempuan lainnya yang ada di Maluku untuk bangkit dan saling mendukung, sekaligus mendorong upaya pemerintah untuk menciptakan perlindungan bagi perempuan korban kekerasan," ujarnya.
Tualeka mengatakan angka kekerasan terhadap perempuan di Maluku terus meningkat setiap tahunnya. Tercatat pada 2009 ada 200-an kasus kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani oleh LAPPAN.
"Masih banyak kasus-kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan yang tidak terdata, karena banyak dari korban yang tidak tahu kemana harus melapor," katanya.
Ia menambahkan, selama ini pendidikan dan sosialisasi Undang-Undang (UU) No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT) di Maluku belum berjalan maksimal, sehingga perlu adanya kerjasama antara kaum wanita untuk membantu menginformasikan melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan perempuan.
"Kaum perempuan perlu berkerja sama sehingga bisa berbagi informasi sekaligus mencari solusi penyelesaian masalah yang dihadapi," kata Tualeka.(*)
Pewarta: kunto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010