"Skala masalah tata kelola yang dilakukan pemeriksaan ini nantinya begitu luas sehingga diistilahkan 'Semesta Pemeriksaan' atau 'audit universe' dimana pemeriksaan dilakukan terlebih dahulu melakukan identifikasi dan penilaian risiko secara mendalam sehingga kami menyebut pemeriksaan ini sebagai 'risk based comprehensive audit'," kata Ketua BPK Agung Firman Sampurna di Istana Negara Jakarta, Selasa.
Agung menyampaikan hal tersebut dalam acara "Kick Off Meeting Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dalam Penanganan Pandemi COVID-19" yang dihadiri Presiden Joko Widodo jajaran Kabinet Indonesia Maju serta pejabat BPK terkait lainnya.
Baca juga: Presiden Jokowi dukung pemeriksaan BPK dalam penanganan COVID-19
Audit itu dilakukan untuk tata kelola anggaran penanganan pandemi COVID-19 dan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp 695,2 triliun atau setara 4,2 persen PDB Indonesia.
"Dalam 3 bulan terakhir seluruh auditor keuangan negara di BPK telah mengumpulkan data dan informasi terkait objek pemeriksaan yang akan segera dilaksanakan. BPK juga sudah melakukan beberapa kajian mendalam dan rinci terkait jenis, tujuan dan ragam pemeriksaan," tambah Agung.
Menurut Agung, begitu banyak dan luas masalah tata kelola penanganan pandemi COVID-19 dan dampaknya termasuk di dalamnya terlibat pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan lembaga lainnya.
Baca juga: BPK libatkan DPD RI awasi distribusi dana penanggulangan COVID-19
"Secara internal pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk mengawal, khususnya program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) namun untuk menjamin agar penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi dilakukan dengan tata kelola yang transparan akuntabel dan efektif dibutuhkan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang bersifat menyeluruh," ungkap Agung.
Menurut Agung dalam pelaksanaan berbagai program penanganan COVID-19, sejumlah permasalahan muncul. Sebagai salah satu contoh dari sisi makro ada indikasi kontraksi pengeluaran pemerintah padahal pada saat yang sama pemerintah berusaha mendorong pelaksanaan anggaran atau "government expenditure" guna menahan pelambatan ekonomi karena pandemi COVID-19.
"Apakah terdapat masalah dalam tata kelola anggaran terkait kompleksitas prosuder pelaksanaan anggaran yang diawali dengan penerbitan DIPA (Daftar Isian Pelaksana Anggaran) atau masalah terkait kapasitas fiskal yang saat ini dikelola pemerintah, semua ini hanya bisa dijawab melalui pemeriksaaan," tambah Agung.
Dalam kondisi COVID-19, menurut Agung, meski telah ditetapkan sebagai kondisi kedaruratan, prinsip-prinsip tata kelola yang baik seperti transparansi dan akuntabilitas harus tetap diterapkan.
"Apapun upaya untuk mengatasi masalah tidak boleh mengesampingkan prinsip-prinsip bernegara. Dalam kondisi seperti apapun, kita wajib untuk patuh pada tata kelola perundangan-undangan," kata Agung.
Permasalah awal tata kelola penanganan COVID-19, menurut Agung, tidak hanya soal penganggaran dan pelaksanaannya, tapi pada tahap awal adalah masalah tata kelola terkait penanganan kesehatan sebagai sentral masalah dan jaring pengaman sosial sebagai mitigasi sosial dari dampak pandemi.
Baca juga: Ketua MPR: Perlu gandeng BPK cegah korupsi dana COVID-19
"Skala masalah kesehatan yang begitu besar dan luas cakupannya mengakibatkan pengaturan dan 'span of control' (rentang kendali) dari upaya penanganan kesehatan menjadi panjang dan kompleks, begitu banyak otoritas terlibat, begitu banyak risiko yang harus ditekan, bahkan kalau memungkinkan diputus mata rantainya yang dihadapkan begitu terbatasnya informasi yang tersedia, minimnya pengalaman kasus dengan skala sebesar ini belum lagi risiko 'social disobedience'," jelas Agung.
Selanjutnya terkait jaring pengaman sosial tata kelolanya juga mengalami masalah.
Masalah timbul dari ketidakhandalan data, kurang transparansi aparatur di daerah yang ditugaskan untuk melakukan pendataaan dan distribusi hingga ragam bansos yang variatif yang diusung oleh kementerian yang berbeda namun dengan tujuan yang kurang lebih sama sehingga berisiko tumpang tindih dalam pelaksanaannya.
"Penanganan kesehatan dan program BPJS merupakan tahapan krusial yang dibutuhkan untuk pulih karena itu harus dikelola dengan cermat tapi juga tetap proaktif," tambah Agung.
Atas kondisi tersebut, BPK perlu mengambil sikap terkait risiko yang senantiasa timbul dalam setiap krisis.
"Bukti empiris menunjukkan krisis adalah sasaran empuk bagi 'free riders' penumpang gelap yang melakukan kecurangan dengan memanfaatkan situasi kedaruratan, celah dalam birokrasi dan penyalahgunaan kekuasaan 'abuse of power'," ungkap Agung.
Dalam pemeriksaan kali ini, menurut Agung, BPK akan melakukan secara optimal perannya, tidak hanya sebatas "oversight" (pengawas) tapi juga memberikan "insight" (memberi masukan) and foresight (memberi tinjauan masa depan) bagi pemangku kepentingan.
"Prosedur pemeriksaannya juga dilakukan dengan kondisi kedaruratan yang memungkinkan Presiden dalam kapasitasnya sebagai kepala negara mendapatkan hasil pemeriksaan secara rutin setiap bulannya agar masalah tata kelola yang dihadapi dalam situasi kedaruratan dapat segera diatasi," tambah Agung.
Setelah Presiden Jokowi menyampaikan sambutan pertanda "kick off" pemeriksaan keuangan negara termasuk pemeriksaan program Pemulihan Ekonomi Nasional.
"Entry meeting detail pemeriksaan akan dilakukan beberapa hari kemudian yang waktunya ditentukan dengan berkoordinasi dengan pimpinan kementerian yang menterinya menangani Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional," ungkap Agung.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020