Perlindungan terhadap konsumen dan developer properti perlu menjadi prioritas karena sering kali kasus pailit justru ditunggangi oleh oknum-oknum
Kasus kepailitan yang menimpa sejumlah pengembang properti nasional menambah persoalan baru di tengah masa pandemi COVID-19.
Industri properti yang tengah berjuang untuk kembali bangkit akibat anjloknya penjualan, terpaksa harus menghadapi persoalan serius yang dipicu oleh terjadinya kasus kepailitan.
Ketua Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia Erwin Kallo mengatakan, maraknya kasus kepailitan menjadi sinyal bahaya yang dampaknya bisa merugikan banyak pihak.
"Perlindungan terhadap konsumen dan developer properti perlu menjadi prioritas karena sering kali kasus pailit justru ditunggangi oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan tertentu," katanya di Jakarta, Jumat.
Pada kenyataannya, menurut dia, konsumen properti adalah pihak yang paling dirugikan jika terjadi kasus pailit, karena konsumen bukan kreditur preferen sehingga pengembalian dana dilaksanakan paling akhir, jika semua pihak telah terbayarkan.
"Justru itu, konsumen mau tidak mau harus mencegah terjadi pailit dalam rapat kreditur dengan menggunakan hak suara," ujarnya.
Ia menegaskan, yang paling diuntungkan dalam kasus pailit adalah oknum, distressed investors dan tentu saja kurator. Karena kurator langsung mendapatkan bagian 7 persen di depan, apapun hasil akhir kepailitannya.
Dengan kondisi tersebut, Erwin sepakat revisi UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) harus dipercepat oleh pemerintah dan DPR.
Revisi UU Kepailitan dan PKPU diharapkan mampu menjaga dan melindungi industri properti termasuk konsumen dan pengembang dari ulah para oknum.
Sementara itu, praktisi hukum dari Hermawan Juniarto & Partners Cornel B Juniarto menilai undang-undang maupun peraturan tentang kepailitan ibarat pisau bermata dua.
Ia mencontohkan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
"Keduanya secara prinsip merupakan payung hukum bagi para pelaku usaha dan pemangku kepentingan yang mengatur tata cara atau mekanisme penyelesaian kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian atau transaksi," kata Cornel.
Namun demikian, menurutnya, sebagai pijakan hukum UU Kepailitan dan PKPU telah mengalami beragam ujian, khususnya berkaitan dengan tingkat efektivitasnya sebagai sumber hukum dalam penyelesaian kewajiban antara kreditur dan debitur di masyarakat.
Secara sederhana, kepailitan dikenal sebagai sarana yang dapat digunakan oleh para kreditur untuk memaksa debitur menyelesaikan kewajibannya, sementara sebaliknya PKPU merupakan sarana yang dapat digunakan bagi debitur untuk menyelamatkan usahanya dari ancaman kebangkrutan.
"Namun kenyataannya, dalam beberapa kasus, UU Kepailitan dan PKPU justru digunakan oleh debitur sebagai sarana untuk menghindari pemenuhan kewajibannya terhadap para kreditur," kata Cornel.
Baca juga: Konsultan: Kinerja properti perkantoran di Jakarta melambat
Baca juga: Konsultan: Pemberlakuan PSBB bukan kondisi ideal bagi sektor properti
Baca juga: Survei: Pemerintah berperan pulihkan sektor properti
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020