Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmada Dahlan Jakarta, Mukhaer Pakkanna mengatakan cukai rokok harus dinaikkan untuk menekan konsumsi rokok di masyarakat, terutama kalangan anak-anak dan remaja serta masyarakat miskin."Saat ini barang kena cukai hanya ada tiga dan 95 persen berasal dari produk tembakau dan turunannya. Perlu ada diversifikasi barang kena cukai,"
"Peningkatan cukai hasil tembakau secara bertahap merupakan salah satu strategi pengendalian penyakit yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024," kata Mukhaer dalam jumpa pers yang diadakan secara daring diikuti dari Jakarta, Senin.
Mukhaer mengatakan pada bagian pemenuhan layanan dasar, RPJMN 2020-2024 mencantumkan indikator strategi untuk menekan persentase perokok usia 10 tahun hingga 18 tahun dari 9,1 persen pada 2019 menjadi 8,7 persen yang disasar pada 2024.
Selain peningkatan cukai hasil tembakau secara bertahap, pada bagian pengendalian penyakit juga tercantum strategi pelarangan iklan total iklan dan promosi rokok, pembesaran pencantuman peringatan bergambar bahaya rokok, hingga perluasan penggunaan cukai pada produk pangan yang berisiko tinggi terhadap kesehatan.
Baca juga: Kenaikan cukai rokok dan perlindungan anak dalam keluarga
Baca juga: Komnas PT: Seharusnya penerimaan cukai tinggi tidak dibanggakan
"Saat ini barang kena cukai hanya ada tiga dan 95 persen berasal dari produk tembakau dan turunannya. Perlu ada diversifikasi barang kena cukai," tuturnya.
Mukhaer mengatakan pengenaan cukai pada sebuah barang bukan dimaksudkan untuk pendapatan negara. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai telah menyebutkan sifat-sifat barang kena cukai.
Sifat barang kena cukai adalah konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
"Produk tembakau dan rokok memiliki eksternalitas negatif terhadap kesehatan, lingkungan, anak-anak dan remaja, orang miskin, perokok pasif, buruh tembakau atau rokok, buruh industri rokok, dan lainnya," katanya.
Mukhaer mengatakan produk tembakau dan rokok memiliki eksternalitas negatif terhadap buruh karena banyak dari mereka mendapatkan upah di bawah upah minimum, di sisi lain pemilik industri rokok senantiasa menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia.
Baca juga: Sampoerna: Penjualan rokok anjlok akibat kenaikan cukai dan COVID-19
Baca juga: Kementan sebut cukai rokok pengaruhi jatuhnya harga tembakau
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020