"Jadi, tidak perlu peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) terkait dengan pemilihan kepala daerah di 270 daerah, baik di sembilan provinsi, 224 kabupaten, maupun 37 kota, di tengah pandemi COVID-19," kata Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. di Semarang, Selasa (22/9) malam.
Teguh Yuwono lantas menyebut UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Baca juga: Ganjar usul "e-voting" pada Pilkada 2020 antisipasi COVID-19
Di dalam Pasal 85 Ayat (1) disebutkan bahwa pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara: a. memberi tanda satu kali pada surat suara; atau b. memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik.
Namun, lanjut dia, dalam Ayat (2a) disebutkan bahwa pemberian suara secara elektronik itu dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan pemerintah daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah.
Teguh Yuwono mengemukakan hal itu ketika merespons pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md. yang menegaskan bahwa pilkada tetap dilaksanakan secara serentak di 270 daerah pada tanggal 9 Desember 2020.
Ketika menyampaikan pengantar secara virtual Rapat Koordinasi Persiapan Pilkada Serentak Tahun 2020 di Jakarta, Selasa (22/9), Mahfud memaklumi adanya kontroversi dari masyarakat yang menginginkan penundaan pilkada. Namun, ada pula yang menghendaki pelaksanaan pilkada tetap pada tanggal 9 Desember 2020.
Baca juga: Mahfud: Pengumuman paslon pilkada lewat website
Menjawab pertanyaan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, Teguh Yuwono mengatakan, "Saya kira pilihan terbaik tetap pilkada langsung karena demokrasi itu 'kan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jadi, ini yang menjadi konsen semua pihak."
Menyinggung pilkada di tengah pandemi COVID-19, Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip itu mengutarakan bahwa penundaan pilkada bukan merupakan solusi karena tidak semua aktivitas harus tertunda.
"Kalau semua gara-gara virus corona ditunda, nanti kuliah ditunda, makan ditunda, saya kira tidak solutif penundaan pilkada. Apalagi pernah ditunda, sebelumnya hari-H pencoblosan pada tanggal 23 September mundur menjadi 9 Desember 2020," kata Teguh.
Penundaan pilkada ini temaktub dalam UU No. 6/2020 Pasal 201A Ayat (1) yang intinya pemungutan suara serentak pada bulan September 2O2O tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal karena ada bencana nasional pandemi COVID-19.
Baca juga: Menko Polhukam: Pilkada tetap digelar 9 Desember 2020
Selanjutnya, pada Ayat (2) disebutkan bahwa pemungutan suara serentak yang ditunda dilaksanakan pada bulan Desember 2O2O.
Dikatakan pula oleh Teguh Yuwono bahwa pandemi COVID-19 adalah sesuatu yang riil dihadapi oleh masyarakat. Akan tetapi, justru bagaimana caranya dalam situasi seperti ini ada mekanisme teknologi yang bisa dipakai, misalnya e-voting.
"Jadi, saya kira perlu disiapkan mekanisme online (dalam jaringan/daring) atau mekanisme offline (luar jaringan/luring) tetapi dengan protokol yang ketat," katanya menegaskan.
Jika di suatu daerah belum siap melaksanakan e-voting, menurut Teguh, waktu pemilihan lebih lama, misalnya sampai pukul 17.00. Begitu pula, ritme perlu diatur agar tidak terjadi kerumunan di tempat pemungutan suara (TPS).
Alumnus Flinders University Australia ini lantas menandaskan, "COVID-19 tidak menjadi halangan. Bahwa virus corona harus di-handle, iya. Namun, kegiatan tidak bisa berhenti."
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020