Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengupayakan sejumlah strategi untuk mengatasi ancaman banjir di tengah pandemi, terutama dengan meningkatkan sistem surveilans untuk menemukan kasus secara dini.Ini kita kuatkan supaya segera ketahuan di mana letak-letak vektor itu berada
"Sistem surveilans ini harus kita kuatkan," kata Kepala Pusat Data dan Informasi Direktorat Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes Didik Budijanto melalui sambungan telepon kepada ANTARA, Jakarta, Kamis.
Terkait kemungkinan lonjakan kasus COVID-19 di tengah ancaman banjir selama musim penghujan, Didik mengisyaratkan lonjakan tersebut dapat saja terjadi, meski dia tidak merinci bagaimana ancaman banjir tersebut dapat memengaruhi pandemi.
"Kalau dari sisi COVID-19 ini kita bisa lihat tiap hari saja laporannya seperti itu. Tapi kalau dari sisi pengaruhnya yang jelas adalah kami mencoba supaya tidak memberikan beban ganda," katanya.
Untuk itu, sejumlah strategi dilakukan Kemenkes agar beban ganda akibat pandemi dan ancaman banjir dapat berkurang, salah satunya adalah dengan meningkatkan sistem surveilans.
Terkait sistem surveilans tersebut, Didik mengatakan bahwa Kemenkes sebenarnya telah memiliki sistem informasi berbasis elektronik yang dapat melakukan penelusuran vektor.
"Di tempat kita (Kemenkes) sebetulnya ada supaya bisa realtime. Itu ada sistem informasi yang berbasis elektronik, sistem surveilans untuk vektor. Ini kita kuatkan supaya segera ketahuan di mana letak-letak vektor itu berada kemudian kita bisa lakukan intervensi," katanya.
Kemudian, selain meningkatkan sistem surveilans, Kemenkes juga memberikan penguatan diagnosis dini dan tata laksana yang harus dilakukan jika terjadi kasus penyakit dengan gejala yang mirip, seperti gejala DBD dan COVID-19.
Baca juga: Kemenkes: DBD masih mengintai saat pandemi COVID-19
Baca juga: Kemenkes minta daerah antisipasi DBD usai PSBB
"(Untuk hal itu) tentu saja dengan bekerja sama dengan profesi. Misalnya kalau anak ya profesi IDAI untuk bisa meningkatkan kualitas bagaimana menegakkan diagnosis tadi, supaya tidak terjadi dua atau timpang tindih satu dengan yang lain," ujar Didik.
Untuk mencegah kekeliruan diagnosis karena ada kemiripan gejala DBD dan COVID-19, maka Kemenkes menerapkan strategi berikutnya, yaitu dengan mencoba mengendalikan vektor nyamuk secara terpadu.
"Yaitu dengan gerakan satu rumah satu jumantik (juru pemantau jentik). Itu harus digerakkan betul ke teman-teman di Dinas Kesehatan atau Puskesmas, dan bekerja sama dengan masyarakat tentunya," katanya.
Sehingga kemungkinan beban ganda akibat tumpang tindih kasus satu dengan kasus lainnya dapat diminimalkan.
Sementara itu, pada kasus dengan gejala yang mirip antara DBD dan COVID-19 tersebut, Didik menyebutnya sebagai koinfeksi DBD dan COVID-19. Penegakan diagnosis tersebut, kata dia, telah tercantum di dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 238 Tahun 2020.
"Itu ketika terjadi koinfeksi dengue, maka COVID-19 ini sebagai diagnosis utama dan yang infeksi dengue ini sebagai diagnosis sekunder. Jika terjadi sama," demikian kata Didik.
Baca juga: Kemenkes sebut Buleleng sebagai kabupaten dengan kasus DBD tertinggi
Baca juga: Kemenkes siapkan protokol pencegahan COVID-19 di pengungsian
Pewarta: Katriana
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020