Pengamat intelijen dari Center of Intelligence and Strategic Studies (CISS), Ngasiman Djoyonegoro meminta pasangan calon (paslon) yang akan bertarung dalam Pilkada 2020 mematuhi larangan kampanye dengan rapat umum.
Ngasiman dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis, mengatakan, kampanye metode tersebut dan jenis pengerahan massa lainnya berpotensi menciptakan klaster COVID-19 yang membahayakan publik.
“Pilkada harus menjadi pesta politik dan demokrasi yang aman dari bahaya apapun, termasuk COVID-19. Jangan sampai mengorbankan rakyat," kata pria yang karib disapa Simon ini.
Baca juga: Pengamat ingatkan pilkada perlu ditinjau lagi saat pandemi COVID-19
Baca juga: Pengamat ingatkan pilkada perlu ditinjau lagi saat pandemi COVID-19
Terlebih, kata Direktur Eksekutif CISS ini, sampai saat ini kasus COVID-19 nasional belum menunjukkan tren melandai.
Oleh karena itu, perlu kerja sama semua pihak untuk memutus persebarannya, termasuk para paslon yang berkontestasi di Pilkada 2020.
"Pemilu hakikatnya untuk rakyat. Jadi harus dilaksanakan dengan sangat mempertimbangkan kemaslahatan rakyat," tegasnya.
Larangan kampanye dengan menggelar rapat umum termaktub dalam Pasal 88C PKPU Nomor 13 Tahun 2020.
Peraturan ini pun telah menjadi kesepakatan seluruh stakeholder penyelenggara Pilkada 2020, yakni DPR, KPU, Bawaslu, dan Pemerintah atau dalam hal ini Kemendagri.
Sehingga, kata Simon, pelanggaran peraturan ini berarti berlawanan dengan hukum dan keputusan negara.
Baca juga: Pengamat: Pilkada 2020 ditunda untuk keselamatan rakyat
Baca juga: Pengamat: Pilkada 2020 ditunda untuk keselamatan rakyat
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun telah memetakan kerawanan corona di seluruh daerah penyelenggara Pilkada 2020. Hasilnya, 50 daerah rawan corona tinggi atau sangat mungkin menciptakan klaster COVID-19.
Melihat banyaknya daerah tersebut, terlihat potensi instabilitas keamanan nasional bila klaster COVID-19 terjadi di Pilkada 2020.
"Dalam kondisi pandemi, sekecil apapun potensi yang bisa mengarah kepada instabilitas keamanan harus dihindari. Karena bisa menambah krisis dan semakin menyengsarakan masyarakat. Cost yang harus dibayar besar," kata Simon.
Belum lagi, tambah Simon, masa transisi politik selalu menjadi momen paling rawan di negeri ini, khususnya terkait keutuhan dan kesatuan bangsa.
"Kalau paslon taat aturan, berarti mereka telah turut menjaga keberlangsungan persatuan nasional. Jangan biarkan pandemi ini menciptakan gejolak politik seperti di Haiti dan Prancis saat wabah HIV dan black death di masa lalu. Kita harus belajar dari sejarah," kata Simon.
Baca juga: Pengamat: Ketua umum parpol perlu bersepakat tak kampanye langsung
Baca juga: Pengamat: Praktik politik uang telah lama dimulai internal parpol
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020