Rinciannya adalah 59 persen merasa sangat khawatir dan 30 persen merasa khawatir dan melihat krisis iklim sebagai masalah yang serius. Sementara itu terdapat sembilan persen responden yang mengaku agak khawatir.
"Hanya 0,6 persen dari mereka yang tidak khawatir dengan dampak-dampak krisis iklim dan satu persen yang tidak tahu atau mungkin tidak percaya," kata Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Adhityani Putri dalam paparannya mengenai hasil survei itu di konferensi pers virtual Change.org dan Yayasan Indonesia Cerah, dipantau dari Jakarta pada Jumat.
Baca juga: Uni Eropa bantu Indonesia 200 juta euro untuk tangani pandemi
Survei yang disebarkan ke pengguna Change.org dan warga net melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram itu menjaring responden rentang usia 17 sampai di atas 51 tahun, dengan terbanyak berada di usia 21-30 tahun yang mengisi 37 persen dari total responden.
Sekitar 72 persen menyatakan diri tinggal di Pulau Jawa, 13 persen dari Sumatera, enam persen dari Kalimantan, empat persen dari Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur serta dua persen dari Sulawesi dan satu persen dari Maluku dan Papua.
Survei itu menunjukkan, sampel warga muda aktif itu mengkonsumsi informasi tentang krisis iklim 72 persen dari media online, 54 persen dari situs online, media sosial seperti Instargam 46 persen, YouTube 42 persen, Twitter 19 persen dan Facebook 18 persen. Hanya 17 persen yang mendapatkan informasi dari koran dan sembilan persen dari majalah.
Hasil survei yang dilakukan dalam rentang 23 Juli- 8 September 2020 itu juga memperlihatkan 58 persen percaya bahwa manusia menjadi penyebab utama terjadinya krisis iklim sementara 38 persen meyakini sebagian disebabkan oleh manusia dan sebagian lagi adalah faktor alam. Sekitar empat persen percaya krisis iklim sudah pasti akan terjadi di Bumi.
Baca juga: Pencemaran udara berdampak pada perubahan iklim
Sekitar 64 persen responden percaya dampak krisis iklim bisa lebih parah dari pada dampak COVID-19 dengan 32 persen yakin dampaknya sama dengan pandemi yang terjadi saat ini. Hanya tiga persen yang menyatakan dampak perubahan iklim akan lebih ringan dibandingkan COVID-19.
Tiga dampak krisis iklim yang menjadi kekhawatiran para responden adalah krisis air bersih, krisis pangan karena gagal panen dan munculnya penyakit atau wabah-wabah mematikan baru.
"Kami juga mensurvei apa yang dianggap sebagai solusi terbaik dan muncul sebagai pilihan pertama di 28 persen adalah menghentikan penebangan dan pembakaran hutan dan lahan," ujar Adhityani.
Solusi kedua adalah yang dipilih 26 persen responden adalah mengakhiri ketergantungan energi fosil dan mulai dengan energi baru dan terbarukan. Sementara itu, 19 persen mengatakan solusinya adalah memulai perilaku hidup ramah lingkungan.
"Dari solusi pertama dan kedua bagi kami ini merupakan respons yang menggembirakan karena berarti ada pemahaman bahwa memang harus ada perubahan-perubahan besar dan yang sifatnya sistemik," kata direktur yayasan yang bergerak mendorong perubahan kebijakan transisi energi di Indonesia itu.
Baca juga: Indonesia perlu tingkatan penindakan ekosida atasi krisis iklim
Baca juga: Tuan rumah KTT Iklim kecam "keterlibatan diam-diam" dalam krisis iklim
Baca juga: Berlanjut, LoI Indonesia-Norwegia diperkuat atasi krisis iklim
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020