• Beranda
  • Berita
  • Mewaspadai cuaca ekstrem mencegah bencana hidrometeorologi

Mewaspadai cuaca ekstrem mencegah bencana hidrometeorologi

26 September 2020 16:37 WIB
Mewaspadai cuaca ekstrem mencegah bencana hidrometeorologi
Warga berjalan di depan rumahnya yang terendam banjir rob di Tiram Ulakan, Kabupaten Padangpariaman, Sumatera Bara (Antara/Iggoy El Fitra)
Rabu, 23 September 2020, selepas Zuhur, hujan tumpah membasahi sebagian besar wilayah Sumatera Barat dengan intensitas sedang hingga lebat.

Tercurah deras dari langit semenjak siang hingga Maghrib menjelang, membuat sejumlah titik di Kota Padang digenangi air.

Dari catatan yang dihimpun Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Padang, salah satu daerah yang paling terdampak adalah Kecamatan Bungus Teluk Kabung.

Di Bungus ketinggian genangan air mencapai satu hingga satu setengah meter dengan arus air yang kencang.

Selain curah hujan yang tinggi, air pasang laut disebut juga mempengaruhi genangan air.

Tak hanya itu, banjir juga terjadi di beberapa titik, yakni Pasar Baru Kelurahan Cupak Tangah, dekat kantor lurah, kompleks Jondul Rawang, Kelurahan Rawang, Kecamatan Padang Selatan.

Kemudian Jalan Raya Kuranji Belimbing, dekat MTSN 5 Padang, Kawasan Sungai Pisang, Villa Bukit Gading, dekat RSUD Rasidin Padang, dengan ketinggian air dari 50 hingga 70 centimeter.

Pada bagian lain, curah hujan yang tinggi juga mengakibatkan pohon tumbang, yaitu di kawasan Lubuk Paraku, dan kawasan Rimbo Tarok Kuranji.

Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, ternyata musim kemarau pada 2020 lebih singkat di Sumatera Barat karena sejak Juli sudah mulai memasuki musim hujan.

"Pada Juli 2020 sudah tidak seperti biasa lagi, terjadi anomali, biasanya saat Juni dan Juli curah hujan masih minim dan lazimnya terjadi musim kemarau di bagian daerah bayangan hujan," kata pengamat meteorologi dan geofisika BMKG Stasiun Iklim Sicincin, Rizky Armei Saputra.

Menurutnya, pada 2020 menjadi salah satu tahun basah yang dicatat Stasiun Klimatologi Padang Pariaman dalam 10 tahun terakhir karena hampir seluruh daerah musim mengalami musim kemarau yang singkat, rata-rata hanya satu bulan.

Daerah yang cukup lama mengalami musim kemarau lebih dari dua bulan pada Mei dan Juni hanya Pasaman bagian utara, Kecamatan Rao, Rao Utara, Panti dan Mapat Tunggul.

"Sementara daerah Sungai Dareh, Kabupaten Dharmasraya, tidak mengalami musim kemarau sama sekali tahun ini," ujarnya.

Kondisi ini membuat curah hujan yang merata hingga tengah tahun dapat memenuhi pengairan pertanian sawah tadah hujan yang mendukung program percepatan area tanam.

"Apalagi sektor pertanian menjadi sektor andalan yang sedikit terpengaruh akibat COVID-19," kata dia.

Ia menganalisis singkatnya musim kemarau di Sumatera Barat pada tahun ini disebabkan dinamika atmosfer, di antaranya tertahannya angin timuran yang aktif di sekitar khatulistiwa dan melemahnya angin barat/angin monsun Asia sehingga terjadi penumpukan awan di sekitar khatulistiwa menyebabkan banyak terjadi hujan.

Nilai indeks Samudra Hindia (IOD) yang sempat positif (0.5) di bulan Juni saat ini sudah menuju netral, ujarnya.

Hangatnya suhu muka laut juga mendukung pembentukan awan-awan hujan. Adanya gangguan cuaca mingguan internasional cukup mempengaruhi hujan di Sumatera Barat.

Pertemuan angin yang cukup banyak terjadi di bulan Juli pada perairan barat Sumatera juga meningkatkan curah hujan.
 
Petir menyambar di kawasan Fly Over Bandara Internasional Minangkabau (BIM), di Padangpariaman, Sumatera Barat. (Antara/Iggoy El Fitra)

Cuaca Ekstrem

Hujan yang terjadi pada 23 September 2020 ternyata masuk kategori ekstrem karena curahnya tinggi dan terjadi dalam waktu lama.

Pengamat meteorologi dan geofisika BMKG Stasiun Iklim Sicincin, Rizky Armei Saputra, menjelaskan hujan ekstrem didefinisikan sebagai hujan terjadi yang diukur lebih dari 100 milimeter dalam satu hari, atau lebih dari 25 milimeter dalam satu jamnya dengan kategori sangat lebat.

Ia menjelaskan dari kondisi tinjauan atmosfer pada 23 September 2020, terdapat peningkatan awan-awan konvektiv meliputi seluruh Sumatera Barat.

Hal ini bertepatan dengan peristiwa equinoks, yaitu posisi semu matahari yang tepat berada di khatulistiwa, dengan tingginya pembentukan awan-awan dari pemanasan di pagi harinya di sekitar perairan dan juga didorong aliran massa udara dari barat yang didorong ke daratan sore hingga malam harinya.

Laporan dari pos hujan yang ada di Kota Padang, hujan sangat lebat atau ekstrem merata terjadi di Lubuk Minturun, Lubuk Kilangan, hingga Bungus Teluk Kabung.

Bahkan pos hujan Semen Padang mencatat 260 milimeter dalam satu hari dan pos hujan di Tarusan Pesisir Selatan, BPP Duku dan Tarusan dicatat 123 milimeter.

Dengan sudah masuknya musim hujan di Sumatera Barat dan masih terdapat potensi puncak musim hujan pada November 2020 dan puncak kejadian ekstrem yang meningkat Oktober hingga November, ia menilai perlu adanya langkah-langkah kesiapsiagaan dalam tindakan beberapa bulan yang akan datang.

"Langkah pengurangan risiko bencana di saat wabah pandemi COVID-19 yang masih akan dihadapi membuat semua pihak dapat lebih saling bersinergi," kata dia.

Ia memaparkan sejak sepuluh tahun terakhir tren kejadian hujan ekstrem cenderung meningkat dengan nilai peningkatannya 0,5 dan tahun ini merupakan paling tinggi serta terendah pada 2012 .

"Dari jumlah curah hujan tahunan sementara, maka 2020 lebih basah sampai Agustus 2020 dan kejadian ekstrem sudah terjadi 200 kali, ini tertinggi sejak 2011," katanya.
Foto udara banjir merendam Nagari Taram, Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluhkota di Sumatera Barat, Sabtu (5/9/2020). (ANTARA FOTO/BPBD Limapuluh Kota/Jhoni Amir)

Antisipasi

Menyikapi cuaca ekstrem tersebut Pemerintah Kota Padang telah mengambil sejumlah langkah, di antaranya menyiapkan pompa air pada tujuh lokasi untuk mengatasi banjir sehingga genangan air lebih cepat dialirkan.

"Dalam kondisi tertentu saat hujan deras dan bertepatan dengan air laut pasang diperlukan pompa air untuk mengatasi genangan," kata Wali Kota Padang Mahyeldi.

Menurutnya, penyediaan pompa akan diadakan pada 2021 dan diharapkan bisa menjadi salah satu solusi.

Selain itu pihaknya juga menyiapkan dam pengendali yang saat ini dibangun di Koto Tangah dan Kuranji.

Pemkot Padang juga sedang membangun embung, seperti di Air Pacah ada tiga lokasi, yaitu di Kantor balai kota, Kampus Baiturahmah dan di kampus Universitas Bung Hatta dengan luas mencapai 50 hektare.

Untuk embung sudah masuk dalam rencana tata ruang wilayah dan direncanakan ada 20 embung di Padang, kata dia.

Ia menyampaikan saat ini yang terjadi di Padang lebih dominan adalah genangan.

Wali kota memaparkan dalam mengatasi banjir sejak 2018 dan 2019 pihaknya telah membangun drainase sepanjang enam kilometer.

Sementara pada Tahun 2020 sepanjang tiga kilometer dan merehabilitasi 17 kilometer drainase hingga tahun ini, ujarnya.

Selain itu pihaknya juga melakukan pengerukan sedimen pada 2018 sepanjang 34 kilometer, 2019 sepanjang 48 kilometer dan hingga Juli 2020 sepanjang 36 kilometer dari target 50 kilometer.

Pada sisi lain ia menilai sejumlah titik banjir dan genangan air di Padang disebabkan hujan turun bersamaan dengan naiknya air laut.

"Ketinggian kenaikan muka air laut secara gelombang per tahunnya adalah 3,3 milimeter, lalu masih ada warga membuang sampah ke selokan atau sungai," ujarnya.

Meningkatkan kewaspadaan, sinergi semua pemangku kepentingan, menjaga alam dan lingkungan, disiplin tidak membuang sampah ke sungai merupakan upaya yang dapat dilakukan mencegah terjadinya banjir.

Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020