Hal itu membuatnya tidak dapat memenuhi permintaan dan tekanan dari Prancis agar para pemimpin sektarian Lebanon membangun pemerintahan bersama-sama untuk menangani krisis terburuk negara itu, setelah perang sipil 1975-1990.
Adib, mantan duta besar untuk Jerman, ditunjuk sebagai bakal perdana menteri dan diminta membentuk kabinet pada 31 Agustus lalu. Ia telah mencoba menempatkan para pakar dalam kabinetnya dengan pembagian kekuasaan bagi Muslim dan Kristen, serta politisi partai.
Adib sendiri adalah seorang Muslim Sunni jika dilihat pada sistem pembagian kekuasaan sektarian.
Namun upayanya mandek, khususnya pada posisi menteri keuangan, yang akan mempunyai peran krusial dalam menentukan program untuk mengangkat Lebanon dari krisis ekonomi yang mendalam.
Dengan utang yang menumpuk, bank-bank Lebanon kini mengalami kelumpuhan dan nilai mata uang negara itu pun jatuh.
Pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang dana talangan yang vital telah terhenti di tahun ini, sehingga tugas pertama kabinet baru nanti adalah memulai kembali pembicaraan tersebut.
Adib menyebut dirinya mundur dari "tugas untuk membentuk pemerintahan" setelah menemui Presiden Michel Aoun.
Susunan kabinet menemui kebuntuan terkait permintaan dari dua kelompok Syiah di Lebanon, yakni Amal dan Hizbullah, yang keduanya mengajukan kandidat untuk sejumlah posisi, termasuk menteri keuangan yang sebelumnya dijabat oleh seorang Syiah.
Adib menggelar sejumlah pertemuan dengan politisi senior Syiah namun gagal mencapai kesepakatan tentang bagaimana menteri keuangan akan dipilih.
Para politisi menilai bahwa pemimpin kelompok Syiah khawatir disisihkan, mengingat Adib berupaya membongkar susunan jabatan di kementerian yang beberapa telah dikendalikan oleh faksi yang sama selama bertahun-tahun.
Sumber: Reuters
Baca juga: Militer Lebanon temukan 1,3 ton kembang api di pelabuhan Beirut
Baca juga: Mustapha Adib jadi calon PM Lebanon, jelang kunjungan Presiden Prancis
Pewarta: Suwanti
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2020