Penyintas COVID-19 Ida Susanti (43), seorang peneliti aktif di Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan mengaku dilanda kekhawatiran, karena takut menularkan ke keluarga saat isolasi mandiri di rumah.Saya berusaha untuk kalau bisa saya keluar untuk mencari tempat isolasi di rumah sakit
"Yang pertama dalam pikiran saya, saya takut sekali menularkan ke orang-orang terutama ke keluarga saya," kata Ida dalam seminar virtual Penyintas COVID-19 Bicara yang diadakan Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, di Jakarta, Minggu.
Ida tinggal bersama suami, mertua dan anak. Mertuanya memiliki penyakit penyerta atau komorbid.
Ida mengaku mulai merasa demam yang tidak terlalu tinggi pada 4 Agustus 2020. Dia berpikir saat itu hanya masuk angin, sehingga mengonsumsi obat dari warung.
Pada hari-hari berikutnya di kantor, ada seorang rekan kerjanya yang positif COVID-19, akhirnya kantor melakukan pelacakan kontak.
Pada 8 Agustus dilakukan uji usap pada Ida dan semua pegawai yang pernah melakukan kontak dengan positif COVID-19 itu.
Ida mendapat hasil positif COVID-19. Ida dilanda kekhawatiran dan tidak ingin ada anggota keluarga yang tinggal bersama dia terkena COVID-19.
"Yang terbayang pertama kali adalah mertua yang ada di rumah dua orang punya komorbid terkait pernapasan, begitu juga suami saya," katanya lagi.
Pada 12 Agustus 2020, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan berkoordinasi ke Dinas Kesehatan di daerah Ida tinggal.
Setelah itu, puskesmas setempat langsung menghubungi Ida memberikan arahan seperti vitamin yang harus diminum dan makanan yang harus dikonsumsi. Puskesmas juga memberikan obat. Keluarga Ida juga mendapat kit pencegahan yang berisi masker, hand sanitizer dan vitamin C.
Ida ingin melindungi keluarganya agar tidak tertular COVID-19. Pada saat itu, kebijakan Dinas Kesehatan setempat adalah orang yang tanpa gejala (OTG) harus isolasi di rumah.
Ida hanya merasakan ada lendir kental atau mukus di belakang tenggorokan. Ida tidak merasakan gejala lain, seperti sesak, batuk, dan pilek.
"Saya berusaha untuk kalau bisa saya keluar untuk mencari tempat isolasi di rumah sakit, tetapi saat itu kebijakan dinas yang OTG harus isolasi di rumah," ujarnya.
Baca juga: Penyintas COVID-19 jalankan kebiasaan baik jaga kesehatan
Dia menuturkan, jika harus mencarikan tempat lain untuk bisa isolasi mandiri, maka yang menjadi masalah kemudian adalah ketersediaan dana yang dibutuhkan, misalnya untuk menyewa tempat karena juga tidak tahu sampai kapan harus isolasi diri.
"Jika itu terjadi pada mertua saya, suami saya, anak saya, itu jadi pikiran terus menerus kita pikirkan, sehingga itu jadi 'stressing' tersendiri, malamnya jadi insomnia, ditambah bayangan stigma masyarakat," katanya pula.
Akhirnya, dengan dibantu keluarga, orang tua dapat mengungsi sementara, sementara yang tinggal di rumah adalah Ida, suami dan anak-anak. Ida tidur di kamar terpisah dari suami dan anak-anak. Toilet yang digunakan bersama selalu didekontaminasi.
"Selama dua minggu, saya benar-benar berada di kamar melakukan isolasi mandiri," ujarnya lagi.
Pada 17 Agustus dan 19 Agustus 2020 dilakukan uji usap di puskesmas dan hasilnya negatif. Akhirnya, Ida dinyatakan sembuh dari COVID-19 setelah hasil uji usap berturut-turut dua kali negatif.
Baca juga: Penyintas COVID-19: Segera periksa status kondisi klinis COVID-19
Baca juga: Penyintas COVID-19 sempat hadapi stigma masyarakat
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020