Dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU Kejaksaan disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
“Saya tidak sependapat kalau prosedur pembahasan ini lebih didulukan dari hukum acaranya (KUHAP), rancangannya. Proses itu payung hukumnya acara pidana (KUHAP),” kata Prof Romli dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Baca juga: RUU Kejaksaan, Tenaga Ahli: wewenang jaksa jadi penyidik terbatas
Baca juga: Komjak sebut revisi UU Kejaksaan penting dan mendesak
Baca juga: Pakar hukum sebut RUU Kejaksaan seperti kembali ke hukum Kolonial
Menurut dia, payung hukum proses tidak menyebut secara tegas bahwa penuntut itu adalah penyidik. Akan tetapi, kata dia, kejaksaan berasaskan dominus litis, bahwa penuntut tunggal, dan penyidikannya untuk tindak pidana tertentu yakni tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang dan pelanggaran HAM berat.
”Jadi payungnya dulu, karena proses beracara kan tidak ada hukum acara kejaksaan. Saya katakan tidak setuju (RUU Kejaksaan), sabar saja menunggu perubahan KUHAP yang sudah ada di Prolegnas DPR,” ujarnya.
Dia mengatakan kewenangan jaksa ingin diperluas lagi lewat RUU Kejaksaan sehingga tidak lagi semata-mata melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu saja seperti korupsi, TPPU dan pelanggaran HAM berat, tetapi jaksa juga ingin menangani tindak pidana administrasi yang ada di kementerian atau lembaga.
“Mau diambil, boleh (memang). Jadi UU Kejaksaan memberi celah untuk keluar. Tapi, payung hukumnya (KUHAP) menyebut penuntut. Lex spesialisnya ya UU Tipikor, TPPU dan pelanggaran HAM. Tapi sekarang, yang spesialis itu ingin diperluas oleh UU tentang struktur organik kejaksaan yang harusnya KUHAP," kata dia.
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020