"Berkurangnya permintaan daun kopi kawa itu dikarenakan menurunnya daya beli masyarakat sehingga stok yang dimiliki pengusaha minuman masih ada," kata salah seorang petani kopi setempat Salfanizar (53) di Tabek Patah, Selasa.
Kopi kawa daun adalah minuman dari daun kopi yang diseduh seperti layaknya teh, tidak menggunakan biji kopi seperti kopi hitam lazimnya. Warnanya pun lebih mengarah ke bentuk teh. Untuk meminumnya tidak menggunakan gelas, tetapi menggunakan batok kelapa agar aroma lebih harum dan cita rasa kopi tetap terjaga.
Salfanizar mengatakan, sebelum pandemi atau dihari normal dalam satu minggu dia bisa memproduksi dan mengirimkan sebanyak sepuluh karung daun kopi kering kepada konsumen.
Sementara pada saat ini Salfanizar hanya memproduksi daun kopi kawa sebanyak empat sampai lima karung per minggunya.
"Berarti terjadi pengurangan pembeli sebanyak 50 persen. Kalau sebelumnya sampai sepuluh karung sekarang hanya lima karung saja per minggu," tambahnya.
Berkurangnya jumlah produksi daun kopi kawa maka keuntungan yang didapatkannya juga berkurang hingga 50 persen.
Biasanya daerah-daerah yang memesan kawa daun ada dari Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi, Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh, hingga ke Kota Padang.
Ia berharap pemerintah daerah lebih memperhatikan petani kopi di daerah setempat dengan menjadikan Nagari Tabek Patah menjadi daerah sentra kopi kawa daun di Sumatera Barat.
Pemerintah daerah mesti melakukan peremajaan pokok kopi yang sudah ada semenjak zaman kolonial Belanda itu agar minuman tradisional tetap terjaga di masyarakat.
"Pokok kopi saat ini masih peninggalan zaman Belanda, harapan kita dengan peremajaan pokok kopi benar-benar menjadikan Nagari Tabek Patah menjadi sentra kopi kawa di Sumatera Barat," harapnya.
Baca juga: Garut dorong pengembangan kopi wine
Baca juga: Petani kopi Banyuwangi dapat permintaan ekspor 600 ton ke Swiss
Pewarta: Laila Syafarud
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2020