Kementerian Kesehatan meminta pemerintah daerah melakukan penyesuaian layanan kesehatan masyarakat guna menghadapi ancaman stunting seiring penurunan kondisi ekonomi karena COVID-19 yang berdampak pada ketahanan pangan keluarga.
"Dampak ekonomi sudah mulai dirasakan, daya beli masyarakat mulai turun. Pengangguran terjadi dan akan berdampak pada ketahanan pangan di keluarga," kata Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Kirana Pritasari dalam webinar Food and Land Use (FOLU) yang diadakan WRI Indonesia dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta, Rabu.
Pemerintah, lanjut dia, sudah mengupayakan berbagai bantuan sosial untuk memperbaiki kondisi tersebut, melakukan mitigasi baik yang bersifat tunai ataupun langsung mengingat dampak pandemi COVID-19 sudah dirasakan masyarakat.
Baca juga: Setwapres: Bunda PAUD miliki peran strategis pencegahan stunting
Berdasarkan informasi yang diperoleh Kemenkes, mereka yang bekerja di sektor informal salah satunya seperti tukang ojek sudah terdampak. Dari hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), mereka yang bekerja di sektor informal sudah ada yang mengalami penurunan asupan protein harian.
Dampak COVID-19 terhadap stunting sudah dikaji dan diperkirakan Balitbangkes. Penurunan daya beli masyarakat mengurangi akses dan kemampuan terhadap pangan di level keluarga sehingga menurunkan asupan nutrisi, dikhawatirkan menyebabkan malnutrisi untuk anak perempuan, ibu hamil dan menyusui, anak kerdil (stunting).
Pada saat bersamaan kondisi pandemi saat ini menjadi tantangan bagi layanan kesehatan sehingga menurunkan layanan kesehatan dan nutrisi untuk komunitas dan individu, kata Kirana. Setidaknya 72,5 persen Puskesmas di Indonesia yang masih memiliki jam layanan sama seperti sebelum pandemi, namun 43,5 persen di antaranya terpaksa membatasi layanan Posyandu.
Baca juga: Setwapres: Pencegahan stunting tetap lanjut meskipun pandemi
"Sekitar 43,5 persen Posyandu tidak aktif, artinya pemantauan tumbuh kembang balita terganggu. Sehingga gizi balita dapat terdampak," ujar dia.
Lebih dari setengah atau 68,7 persen pihak Puskesmas mendatangi rumah-rumah balita yang mengalami stunting. Lalu 69,4 persen Puskesmas melakukan kunjungan rumah untuk ibu-ibu hamil selama masa pandemi.
Selain itu, Kirana mengatakan 83,6 persen Puskesmas di Indonesia mengurangi jumlah kunjungan pasien. Dan 56,9 persen Puskesmas harus mengurangi cakupan layanan imunisasi, dan 57 persen Puskesmas melakukan kunjungan rumah pasien TB.
"Upaya kami sejauh ini memberi panduan ke daerah untuk dapat 'adjust' dengan situasi pandemi di masing-masing daerahnya. Di zona hijau masih bisa tatap muka, tapi di zona kuning, oranye dan merah harus hati-hati. Hanya layanan yang esensial saja yang mungkin bisa dilakukan seperti vaksin dan yang alami gizi kurang," ujar Kirana.
Baca juga: Pemprov Sulsel tetapkan 205 desa lokus intervensi stunting
Baca juga: Pemerintah targetkan angka "stunting" di bawah 680 ribu per tahun
Baca juga: Mensos minta kajian beras bansos dorong penurunan kekerdilan
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020