Dalam pernyataannya pada Rabu, Kedutaan Besar RI (KBRI) di Dili menyebut kelompok penenun Oecusse menghadapi kendala kelangkaan benang dalam membuat kain tenun ikat yang di Timor Leste disebut beti, untuk laki-laki, dan tais, untuk perempuan itu.
"PNS di Oecusse diwajibkan memakai pakaian tais dua kali seminggu, namun produksi tais terbatas karena pasokan benang tidak ada," tulis KBRI Dili, mengutip pernyataan Presiden Daerah Administrasi Khusus Oecusse, Arsenio Bano.
Harapan impor benang dinyatakan Arsenio dalam seminar virtual potensi ekonomi tenun ikat Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Timor Leste, yang digelar KBRI Dili untuk memfasilitasi pemangku kepentingan kedua negara dalam memperkuat sektor usaha informal.
Wakil Menteri Pariwisata dan Budaya Timor Leste, Inacia Teixeira, yang menyebut bahwa tais khas Timor Leste berwarna dasar hitam-putih dengan motif buaya, menyatakan harapannya agar kedua negara mempunyai nota kesepahaman untuk sektor informal tersebut, khususnya bidang pariwisata dan kebudayaan.
Selain material produksi, otoritas Oecusse juga berharap mendapatkan masukan soal strategi dan program pemerintah, seperti yang dijalankan oleh pemerintah NTT untuk membawa tenun ikat ke taraf internasional.
"Daya jual kita di tingkat internasional adalah cerita atau literasi di balik makna setiap motif tenun. Timor Leste perlu membuat cerita motif tenun yang dimiliki masyarakat," kata Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah NTT, Julie Laiskodat.
Selain itu, menurutnya, pemerintah setempat perlu turun langsung ke kelompok tenun dan menyediakan material produksi karena para penenun membutuhkan modal untuk membuat kain tenunan mereka, serta menyiapkan paten untuk motif-motif yang diciptakan.
Baca juga: Ketua DPRD: tenun ikat NTT dipakai presiden jadi motivasi bagi penenun
Baca juga: Buka Paris Fashion Week, Dior gunakan kain tenun ikat Indonesia
Baca juga: Pebisnis tenun jeli cari strategi hadapi pandemi
Pewarta: Suwanti
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2020