"Dengan adanya pengaturan prosedur fidusia seperti sekarang, pemohon tidak mendapatkan perlindungan hukum yang adil karena profesi pemohon profesi yang sah dan pemohon melakukan tugasnya dengan baik dan benar, namun mendapat tanggapan yang tidak menyenangkan dari para pemberi fidusia," ujar kuasa hukum pemohon Zico Simanjuntak dalam sidang perdana perkara tersebut di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu, yang disiarkan secara daring.
Baca juga: Gugatan pembatasan mimbar akademik tak diterima MK
Baca juga: MK tegaskan siaran ulang legal dengan izin
Setelah Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 pada awal 2020, ia menyebut terjadi penurunan jumlah kasus yang dikerjakan secara drastis karena kreditur harus membawa perkara ke pengadilan sebelum melakukan eksekusi pengambilan objek jaminan fidusia.
Selain itu, ia mendalilkan terjadi ketiadaan perlindungan hukum yang adil untuk industri pembiayaan karena biaya yang dikeluarkan untuk eksekusi lebih besar dari nilai barang.
Padahal dari sisi praktik di lapangan, menurut kuasa hukum pemohon, putusan MK memberikan celah untuk debitur untuk mengulur waktu dan melarikan barang.
Menanggapi permohonan itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyoroti pemohon belum menyebutkan hak konstitusional yang dirugikan dengan berlakunya pasal yang dimaksud setelah putusan MK.
"Ini tolong kemudian diperhatikan soal hak itu, ya. Hak yang mana yang dilanggar oleh berlakunya undang-undang tersebut? Ini tolong nanti dipertegas," ujar Enny Nurbaningsih.
Baca juga: MK putus ketua Pengadilan Pajak tak lagi diusulkan Menkeu
Baca juga: Tak timbulkan kerugian, Pengadilan Pajak tetap di bawah Kemenkeu
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020