"Oleh karena itu, kontestan Pilkada 2020 harus tepat memilih buzzer (orang yang mempromosikan, mengampanyekan, atau mendengungkan sesuatu)," kata Ibnu Dwi Cahyo menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang melalui percakapan WhatsApp, Jumat malam.
Ibnu lantas mencontohkan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017. Pada masa kampanye, pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno lebih fokus menggaet dan mengajak satu buzzer artis, yaitu Raffi Farid Ahmad.
Pada saat itu, Rafi Ahmad punya follower Instagram sekitar 20 juta (sekarang sudah mencapai 40 juta). Sementara itu, pasangan Basuki T. Purnama (Ahok) meski banyak artis sebagai buzzer-nya, follower-nya jauh di bawah suami dari Nagita Slavina itu.
"Hasilnya Anies berhasil menggaet suara milenial dan juga netizen (warganet) Ibu Kota," kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini.
Baca juga: "Buzzer" belum diatur, Perludem: PKPU perlu lebih progresif
Pada Pilgub DKI Jakarta 2017, pasangan Anies-Sandiaga meraih sebanyak 3.240.987 suara (57,96 persen), sedangkan Ahok-Djarot sebanyak 2.350.366 suara (42,04 persen).
Terkait dengan buzzer anonim, menurut Ibnu, banyak digunakan untuk tingkatkan konten agar berada di beranda Facebook, Instagram, Twitter, maupun YouTube dalam waktu lama.
"Biasanya kegiatan buzzing-nya dibantu iklan yang disedikan oleh platform, seperti FB Ads, IG Ads, dan juga Google Adsense," kata Ibnu ketika menjawab seberapa efektifnya peran buzzer dalam pemilihan kepala daerah.
Menyinggung soal Pilkada 2020, dia mengatakan bahwa kebutuhan akan buzzer media sosial sangat urgen karena netizen yang belum menentukan pilihan akan menggunakan referensi dari internet sebagai pedoman utama sebelum menggunakan hak suaranya, selain juga bertanya kepada teman mereka.
Baca juga: "Buzzer" dimanfaatkan 'goreng' isu di tengah masa kampanye
Baca juga: Kepala Sekretariat: KSP tidak punya anggaran rekrut 'buzzer'
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020