Koleksi bertajuk "Kembali" ini dibuat Intan menggunakan 100 persen bahan daur ulang materi yang digunakan dalam kampanye publik Greenpeace selama dua dekade terakhir.
Mulai dari pakaian yang sudah tidak dipakai, spanduk dan plakat yang dipadukan dengan bahan-bahan alami seperti pandan, cincang halus secang, sabut kelapa, kulit manggis, dan kunyit sebagai pewarna.
Baca juga: Tips IFC agar pelaku industri fesyen Indonesia tetap berdaya saing
Baca juga: Ralph Lauren luncurkan "Earth Polo", busana dari plastik bekas
"Banyak kemenangan yang telah diraih, tetapi masih panjang pula perjalanan kami dalam meningkatkan kesadaran akan masalah lingkungan yang krusial. Intan telah mengambil ide itu dan mengubahnya menjadi mode untuk menunjukkan kepada kita bahwa ada banyak cara kreatif untuk peduli terhadap lingkungan," kata Tasya P. Maulana, pemimpin proyek GPSEA20, dalam siaran resmi, Sabtu.
Intan mengatakan, koleksi "Kembali" terinspirasi dari bumbu dapur yang didapatkannya dari penjual rempah-rempah lokal yang mendekatkannya dengan keluarga dan teman setiap kali ia menggunakannya.
“Saya memutuskan untuk menggunakan rempah-rempah yang sama yang saya gunakan untuk memasak sebagai pewarna alami untuk koleksi ini untuk mewakili pandangan saya bahwa perubahan dapat dimulai dari rumah dan komunitas kita," ujar Intan.
Intan telah menggunakan bentuk daur ulang kreatif dan desain fesyen sebagai cara mempromosikan kehidupan berkelanjutan dan kepedulian terhadap lingkungan sejak 2004.
Hal ini tercermin dalam karyanya melalui perusahaan sosial yang sedang berkembang, Setali Indonesia, di mana Intan adalah salah satu pendirinya.
Ia berharap untuk bersama-sama memberdayakan masyarakat dalam mengurangi limbah fesyen dengan menyumbangkan barang-barang yang tidak diinginkan untuk dijual kembali atau didaur ulang. Intan juga merupakan bagian dari komunitas daur ulang Sightfortheearth.
Koleksi "Kembali" akan dilelang secara khusus mulai dari 2-6 Oktober 2020 dan setengah hasilnya digunakan untuk donasi kampanye penyelamatan lingkungan.
Baca juga: Fashion ramah lingkungan pasti lebih mahal?
Baca juga: Coba "slow fashion", jalani tiga bulan tanpa belanja baju baru
Baca juga: Batik Pagi-Sore disebut bagian dari "sustainable fashion"
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2020