PEN mengatasi persoalan-persoalan jangka pendek tetapi juga dapat menjadi fondasi atau awal perubahan kebijakan jangka menengah dan panjang.
Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Kiki Taufik mengatakan di masa pandemi COVID-19 saat ini menjadi momen yang tepat untuk menjalankan pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang prolingkungan.
"Pemulihan ekonomi nasional diperuntukkan untuk jangka pendek. Tapi bisa jadi pondasi pembangunan rendah karbon," kata Kiki dalam Forum Editorial the Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) membahas “Build Back Better: Bangkit dari Krisis dengan Pembangunan Rendah Karbon di Sektor Kehutanan” secara daring di Jakarta, Sabtu.
"Restart" ekonomi, menurut dia, harus dimaknai reorientasi pembangunan yang memiliki koneksi antara lingkungan, manusia dan ekonomi. PEN mengatasi persoalan-persoalan jangka pendek tetapi juga dapat menjadi fondasi atau awal perubahan kebijakan jangka menengah dan panjang.
"Bad times lead to good policies," ujar dia yang membahasakan masa yang buruk seharusnya dapat mengarahkan pada kebijakan yang baik.
Baca juga: Airlangga Hartarto sebut realisasi Anggaran PEN baru capai 45,5 persen
Sektor kehutanan menjadi penyumbang emisi terbesar, yakni 47,8 persen, disusul sektor energi mencapai 34,9 persen di 2010. Ia mengatakan diperkirakan sektor energi akan menjadi penyumbang emisi terbesar di 2030.
Kerenannya, ia mengatakan PEN prolingkungan harus menjadi fondasi awal pembangunan ekonomi yang rendah emisi, di antaranya dengan kebijakan yang tepat di sektor kehutanan dan energi.
Indonesia, lanjutnya, memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) yang melimpah. Karena kergantungan yang lama terhadap batu bara, sekitar 54 persen energi listrik Indonesia berasal dari batu bara, maka pemanfaatan energi terbarukan masih sangat rendah.
Dari data Kementerian Energi Sumbe Daya Mineral (ESDM) tahun 2019, Indonesia memiliki potensi EBT dari surya sebesar 207,9 Gigawatt (GW), sementara pemanfaatannya baru mencapai 0,9 GW. Untuk energi bayu atau angin, Indonesia memiliki potensi sebesar 60,6 GW, namun pemanfaatannya baru mencapai 0,076 GW.
Baca juga: Sri Mulyani: APBN 2021 jadi alat pemulihan ekonomi dari pandemi
Sementara itu, Senior Manager Forest and Commodities WRI Indonesia Andhika Putradhinata mengatakan grafik konsentrasi karbon dioksida (CO2) global dan anomali temperatur mengalami peningkatan setiap tahunnya sejak 1958. Dan hutan akan selalu menjadi isu yang dikedepankan mengingat kerusakannya menyebabkan emisi yang besar.
"Tapi industri enggak paham kenapa sih hutan enggak boleh ditebang. Mereka enggak paham kalau hutan yang masih pristine itu menyimpan karbon sangat besar. Tidak hanya dari tegakannya saja, tapi dalam tanah di bawah tegakan itu juga menyimpan karbon sangat besar," kata Andhika.
Berdasarkan data Indonesia Climate Watch tahun 2016, sektor kehutanan dan tata guna lahan menyumbang emisi terbesar mencapai 1,36 gigaton karbon dioksida ekuivalen (GtCO2e), sedangkan energi menyumbang emisi sebesar 512 megaton karbon dioksida ekuivalen (MtCO2e).
"Harga yang dikeluarkan karena kebakaran hutan dan lahan 2015 dua kali lipat dari rekonstruksi pascagempa dan tsunami Aceh 2004. Tapi itu tidak pernah dibahas sebelumnya", katanya.
Baca juga: Jamkrindo catat realisasi penjaminan program PEN capai Rp2,95 triliun
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020