• Beranda
  • Berita
  • Akademisi nilai RUU PKS jadi alat politik pertahankan isu pembelahan

Akademisi nilai RUU PKS jadi alat politik pertahankan isu pembelahan

4 Oktober 2020 20:34 WIB
Akademisi nilai RUU PKS jadi alat politik pertahankan isu pembelahan
Dosen Hüküm Tata Negara Unand Feri Amsari. (ANTARA/Ikhwan Wahyudi)

Isu RUU PKS seksi untuk dikapitalisasi karena partai politik

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang Feri Amsari melihat Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dijadikan alat politik untuk mempertahankan isu pembelahan yang terjadi pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.

"Isu RUU PKS seksi untuk dikapitalisasi karena partai politik merasa ada yang diuntungkan dengan RUU ini, sehingga pembahasan pokok perkaranya malah luput dibahas seperti hak-hak korban yang harus dilindungi," kata dia, di Padang, Minggu.

Ia menyampaikan hal itu pada webinar Bedah RUU PKS dan Urgensinya Untuk Disahkan yang digelar oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Pengenalan Hukum dan Politik (PHP) Universitas Andalas Padang.

Menurut dia, dalam pembahasan seolah RUU ini memberikan nilai-nilai yang berbeda dari tujuan awal pengusul.

Dia memberi contoh soal hidup liberal memperbolehkan tindakan seksual tertentu, seperti istri boleh melawan suami, pandangan ini merupakan cara berpikir yang tertinggal dilihat dari perkembangan kasus-kasus kekerasan seksual terbaru.

"Contohnya suami memperkosa istri sendiri, ini dulu jarang ada, namun sekarang sudah terjadi yang berdampak pada kejiwaan seseorang," kata dia pula.
Baca juga: Komnas Perempuan bantah RUU PKS hanya mengadopsi feminisme


Kemudian ia melihat dengan tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi, RUU PKS mendesak untuk disahkan pemerintah bersama DPR.

Pada sisi lain, ia menilai kepolisian dan kejaksaan belum sepenuhnya memahami kejahatan kekerasan seksual dari sudut pandang korban sendiri.

"Pada banyak kasus kepolisian dan kejaksaan melihat korban sebagai pelaku, misalnya ada yang mempertanyakan apakah juga ikut menikmati tindakan pemerkosaan, bahkan ada juga hakim yang mempertanyakan itu di persidangan," ujarnya lagi.

Ia menilai sudut pandang penegak hukum seperti ini, jauh tertinggal dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

"Contoh lainnya ketika ada korban perkosaan melapor ditanyai mana buktinya, pertanyaan ini tidak relevan karena dalam kejahatan kekerasan seksual korban mencari bukti bukan tugas korban melainkan penyidik, selain itu visum dan keterangan korban juga alat bukti," katanya pula.

Dia menyarankan aparat penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual harus kursus untuk mendalami kondisi kejiwaan korban hingga bagaimana menemukan alat bukti.
Baca juga: FPKS DPR tolak RUU Ciptaker jadi UU

Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020