Prosesnya tidak cuma menyangkut kepentingan sepak bola, termasuk rusaknya industri sepak bola dan kacaunya agenda olahraga.
Prosesnya lebih dimulai dari adanya rekomendasi kesehatan yang indikator kentaranya adalah statistik kasus infeksi.
Baca juga: PSSI tunda lanjutan Liga 1 dan Liga 2 musim 2020
Seperti halnya Indonesia, proses memulai lagi kompetisi olahraga yang terhenti di Jerman, Inggris, Spanyol dan Italia juga berliku, tetapi umumnya dicirikan oleh adanya hubungan tak terpisahkan antara otoritas kesehatan, otoritas olahraga dan liga. Lampu hijau ada pada otoritas kesehatan setelah melihat grafik kasus COVID-19.
Di Italia yang pernah menjadi episentrum virus global, pemerintahnya baru memberikan izin kepada Serie A menggulirkan lagi kompetisi ketika jumlah kasus dan angka kematian akibat COVID-19 terus menurun.
Tidak ada satu pun liga sepak bola Eropa yang memulai lagi kompetisi tanpa mempedulikan statistik virus corona, bahkan Prancis dan Belanda tak mau mengambil risiko ketika krisis virus terus mengganas sampai kemudian menutup kompetisi tanpa melanjutkan yang tersisa.
Ada memang sedikit negara yang mengabaikan grafik, salah satunya Amerika Serikat. Tetapi itu terjadi karena kompetisi dilanjutkan di satu venue di mana pemain, pelatih dan ofisial dikerangkeng dalam satu tempat, antara lain gelembung NBA. Sepak bola, bisbol, rugby atau kriket mustahil menempuh langkah NBA walaupun di AS itu terjadi di NFL dan MLB namun tak sampai menciptakan kerumunan di luar stadion.
Berkaca dari Eropa, pada masa pandemi, kelangsungan kompetisi tergantung kepada pertalian erat antara otoritas kesehatan, otoritas olahraga dan penyelenggara kompetisi. Nafsu saja menggelar lagi kompetisi tanpa mau melandaikan grafik infeksi adalah pesan buruk keselamatan dan kesehatan manusia yang justru menjadi salah satu fungsi olahraga.
Sudah pasti masalah kesehatan dan pengendalian infeksi virus corona bukan tanggung jawab otoritas olahraga, penyelenggara liga, atau klub, apalagi pemain dan pelatih.
Itu tanggung jawab otoritas lain di atas mereka yang kini berperan besar bagi kelangsungan kompetisi. Itulah yang terjadi di Jerman, Inggris, Spanyol, dan Italia.
Baca juga: Bos Persik Kediri dinyatakan positif COVID-19
Grafik masih menanjak
Indonesia juga berusaha menggulirkan lagi kompetisi. Namun sayang, angka infeksi di Indonesia berbeda terbalik dengan prakondisi ketika liga-liga Eropa mengayunkan lagi kompetisi.
Statistik yang dirilis Google-Wikipedia berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari seluruh dunia menunjukkan grafik kasus infeksi di Indonesia sejak Maret tak pernah melandai, sebaliknya terus menanjak. Ini kebalikan dengan yang terjadi di Jerman, Inggris, Italia dan Spanyol saat merestart kompetisi yang terhenti pandemi.
Jerman memulai lagi Bundesliga setelah melihat grafik kasus menurun drastis dari 6.000 kasus pada awal April menjadi di bawah 600 kasus sampai awal Mei sehingga mereka menetapkan 16 Mei sebagai awal restart liga.
Sebaliknya Indonesia, sebulan sebelum rencana 1 Oktober untuk mulainya lagi liga sepak bola, angka infeksi harian terus menanjak, bahkan sudah terjadi sejak April. Pada 1 Agustus 2020 angka kasus dalam sehari berada pada 1.519 dan terus naik sampai sempat menanjak 4.823 kasus pada 25 September atau lima hari sebelum liga sepak bola diharapkan bergulir lagi.
Grafik yang berbalik 180 derajat dengan yang terjadi di negara-negara yang memulai lagi kompetisi sepak bola profesionalnya ini membuat sejumlah kalangan khawatir kompetisi yang dibuka lagi tanpa mempertimbangkan statistik kasus COVID-19 yang lagi meninggi bisa menjadi bumerang kesehatan.
Namun kekhawatiran itu tidak tertuju kepada apa yang akan terjadi di dalam stadion ketika laga-laga dilangsungkan, karena lebih tertuju kepada yang bakal terjadi di luar stadion atau tempat-tempat di mana orang berkerumun menyaksikan bersama pertandingan Liga 1 atau Liga 2 ketika hanya sedikit kota atau daerah yang ketat menerapkan aturan pembatasan sosial.
Dan jarang sekali kepala daerah yang menganjurkan warganya menyaksikan pertandingan lewat televisi seandainya Liga 1 dan 2 bergulir lagi, bukan nonton bareng sekalipun cuma tingkat RT yang tetap saja menciptakan kerumunan.
Kompetisi memang akan dipusatkan di beberapa kota di Jawa, namun siapa bisa menjamin tak akan terjadi kerumunan di sekitar stadion dan kota-kota atau tempat-tempat yang menjadi basis pendukung tim sepak bola, mengingat karakter pendukung sepak bola Indonesia yang relatif sulit dikendalikan.
Siapa pula yang bisa menjamin kerumunan tak tercipta di tempat-tempat lain luar Jawa di mana klub-klub Indonesia memiliki basis penggemar fanatiknya, apalagi fakta menunjukan relatif rendahnya disiplin masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan.
Baca juga: LIB: subsidi klub-pembiayaan dikomunikasikan lagi setelah liga ditunda
Disiplin penggemar sepak bola
Suara berbeda pun muncul. Pada 24 September 2020, Indonesia Police Watch (IPW) meminta Polri tak menerbitkan izin kelanjutan Liga 1 dan Liga 2 karena khawatir menciptakan klaster baru penularan COVID-19.
IPW mengutipkan komitmen Presiden Joko Widodo untuk memprioritaskan masalah kesehatan dan kemanusiaan, selain menunjuk maklumat Kapolri Jenderal Idham Aziz bahwa "Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi".
Walaupun Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita menepis kekhawatiran IPW dengan berjanji menerapkan secara ketat protokol kesehatan selama kompetisi berjalan, sepertinya ini tak cukup meyakinkan polisi.
Polisi tidak meragukan langkah-langkah yang ditempuh PSSI, operator liga, dan klub dalam memastikan kompetisi mematuhi aturan protokol kesehatan. Sebaliknya, kerumunan yang tercipta di luar stadionlah yang sepertinya membuat polisi jatuh khawatir. Apalagi polisi tahu betul kebiasaan pendukung bola Indonesia karena mereka setiap waktu ada di samping pendukung bola manakala pertandingan sepak bola digelar.
Tanpa bermaksud merendahkan disiplin penggemar sepak bola Indonesia dalam mematuhi aturan, adalah terlalu berani berhipotesis kepatuhan penggemar sepak bola Indonesia sama dengan kepatuhan penggemar sepak bola di Eropa yang begitu dilarang mendekat stadion serempak mematuhinya karena mereka juga menyadari bahaya dan konsekuensi penyakit menular dan wabah, serta oleh adanya aturan yang tegas di lapangan.
Mungkin hanya ketika Liverpool dinobatkan sebagai juara liga setelah menunggu 30 tahun lah penonton sepak bola Eropa berkerumun di luar stadion demi merayakan sukses historis itu.
Tetapi yang terjadi di Indonesia cukup memprihatinkan. Meminta orang agar menjaga jarak dan mengenakan masker saja sulitnya luar biasa, padahal ini rekomendasi ilmiah yang paling umum dan lebih efektif mencegah penularan COVID-19. Buktinya bisa dilihat dari grafik infeksi yang berbeda 180 derajat dengan negara-negara lain yang grafik kasusnya melandai atau menurun.
Kekhawatiran polisi dan masyarakat yang peduli kepada mencegah penyebaran virus corona di negeri yang grafik kasusnya tak pernah melandai itu terkonfirmasi ketika pada 29 September PSSI resmi menunda lanjutan Liga 1 dan Liga 2 musim 2020 karena tidak mendapatkan izin keramaian dari polisi.
PSSI, klub, pemain, pelatih, dan penonton sudah pasti kecewa. Tetapi seperti sportivitas dalam olahraga itu sendiri mereka sportif memahami penundaan itu.
Baca juga: Ikhtiar menekan grafik yang masih mencengangkan
Landaikan grafik
Tetapi Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan berharap penundaan ini tak lama karena efeknya buruk bagi sepak bola nasional.
Iriawan beranggapan jika kompetisi sama sekali tidak bisa bergulir, maka itu bisa memotong satu generasi sepakbola nasional dan berdampak buruk terhadap keikutsertaan Indonesia dalam kompetisi-kompetisi AFC dan FIFA.
Pandangan Iriawan ini sangat benar dan sangat beralasan. Sayangnya hanya sedikit jalan untuk menepis kekhawatiran Iriawan ini.
Di antara sedikit jalan itu adalah menunggu vaksin keluar. Namun ini bakal lama dan tidak menentu, apalagi konsensus di antara pakar-pakar internasional menyatakan vaksin virus paling cepat hadir pada akhir tahun ini atau awal tahun depan.
Apakah harus membiarkan mekanisme alam untuk melawan virus?. Mungkin saja. Tetapi teori ini telah terbantahkan dan gagal total ketika hancurnya anggapan suhu dan cuaca panas bisa menaklukkan virus corona ketika fakta kasus infeksi tetap menanjak di kepanasan.
Ada cara lain seperti dilakukan liga kriket profesional India (IPL) yang merupakan liga olahraga dengan penonton terbesar keenam di dunia.
Demi menghindari rusaknya agenda kompetisi, India memutuskan menggelar kompetisi IPL di Uni Emirat Arab dari 19 September sampai 10 November 2020. India menyadari betul magnet kriket yang merupakan olahraga paling populer di sana, bagi rakyatnya yang gila kriket. Namun mereka tahu pasti mustahil mengendalikan kerumunan sekalipun kompetisi kriket digelar tanpa penonton dan penonton dilarang mendekati stadion.
Apa yang ditempuh liga kriket India dalam memindahkan kompetisi ke negara lain sudah tentu mustahil ditiru Indonesia.
Oleh karena itu, pilihan masuk akal untuk menghindari terjadinya apa yang ditakutkan Iriawan adalah mendorong entitas lebih luas dari sekadar PSSI dan liga sepak bola untuk agresif menciptakan prakondisi bagi bergulirnya lagi kompetisi yang tak mengancam kesehatan masyarakat. Dan itu bermuara kepada melandaikan grafik infeksi.
Itu juga bisa dimulai dari memassalkan kebiasaan mengenakan masker di tempat umum di seantero negeri dan menjaga jarak sosial yang artinya membatasi kerumunan pada jumlah tertentu. Lagi pula ini adalah rekomendasi pakar-pakar kesehatan mana pun di dunia, termasuk ahli-ahli kesehatan Indonesia dan WHO. Dan rekomendasi ini sejauh ini adalah salah satu yang ampuh membendung serangan COVID-19.
Seandainya kebiasaan dan kesadaran ini tercipta luas dalam masyarakat, kemungkinan besar grafik akan melandai dan kompetisi pun bisa dimulai lagi tanpa cemas memikirkan apa yang bakal terjadi di luar stadion.
Baca juga: Satu pemain Persipura terkonfirmasi positif COVID-19
Baca juga: Empat pemain Persebaya Surabaya terkonfirmasi positif COVID-19
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2020