• Beranda
  • Berita
  • Stafsus ATR: UU Cipta Kerja tak bisa rampas tanah rakyat

Stafsus ATR: UU Cipta Kerja tak bisa rampas tanah rakyat

8 Oktober 2020 13:49 WIB
Stafsus ATR: UU Cipta Kerja tak bisa rampas tanah rakyat
Pengamanan dari aksi penolakan UU Cipta Kerja. (ANTARA/Gunawan Wibisono)
Staf Khusus dan Juru Biara Kementerian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi menegaskan  tidak ada pasal dalam Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang membenarkan pemerintah dapat merampas tanah rakyat.

Taufiq menjelaskan  pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam pasal 121 UU Cipta Kerja sama sekali tidak mengubah makna dan cara penguasaan oleh pemerintah dari UU sebelumnya yaitu UU No 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Dalam UU Cipta Kerja, jika terdapat lahan dan rumah rakyat yang besertifikat akan ditetapkan untuk kepentingan umum, sebelum rencana pembangunan fasilitas umum itu dilaksanakan, akan dilangsungkan konsultasi publik terlebih dahulu.

"Jika masyarakat pemilik lahan atau rumah yang bersertipikat itu belum sepakat, maka tidak boleh pemerintah membangun proyek umum apapun di atas lahan rakyat tersebut," kata Taufiq dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

Dalam proses konsultasi publik tersebut, pemerintah juga akan menggunakan appraisal independen sehingga praktek pengadaan tanah untuk kepentingan akan terselenggara dengan adil (fair).

Dalam pengadaan tanah tersebut, harga tanah, bangunan, tanaman tumbuh, penghasilan pemilik tanah, seperti terdapat warung usaha, akan dinilai secara sangat adil oleh appraisal independen.

Taufiq menegaskan pemerintah tidak akan mendegradasi praktik yang telah berlangsung sekarang. Ada pun harga tanah yang dibayar berkisar antara dua hingga empat kali harga pasar.

"Inilah yang memungkinkan kita membangun tol, pelabuhan, bandara, kereta api dan berbagai infrastruktur lain tanpa gejolak dan tanpa penolakan," kata dia.

Sebaliknya, UU No 2 Tahun 2012 dalam praktiknya cenderung menimbulkan masalah. Hal itu karena dalam UU tersebut dikenal dengan istilah ganti rugi. Padahal, istilah tersebut seharusnya merujuk pada ganti untung.

Sementara itu, masalah konsinyiasi atas penitipan ganti uang rugi di pengadilan telah diatur dalam pasal 42 KUH Perdata. Konsinyiasi dalam dalam UU itu dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang sedang mengalami perkara.

"Misalnya, jika harga tanah sudah disepakati, tetapi di atas objek tanah yang sama terjadi klaim tumpang tindih di antara warga, klaim tumpang tundih tersebut harus diselesaikan di pengadilan. Agar pembangunan fasilitas umum bisa terus dijalankan, maka UU mengharuskan pemerintah menitipkan uang di pengadilan (konsinyiasi)," kata Taufiq.
 

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020