Cerita tentang polemik buruh dan pengusaha seolah tak pernah tampak ujungnya. Mulai dari persoalan pengupahan, hitungan pesangon, status outsourcing, ketentuan pemutusan hubungan kerja, tunjangan hari raya (THR), hingga persoalan lain yang berulang kali terjadi membuat kegelisahan bagi sebagian orang.
Kabar terkini yang datang dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kian menambah potensi polemik baru bagi buruh dan pengusaha. Pada Senin (5/10/2020), DPR mengetok palu tanda disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Dari unggahan berita di berbagai media daring dan elektronik, banyak pihak tampaknya keberatan dengan isi RUU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR itu, khususnya suara kalangan buruh yang kencang menyoroti beberapa pasal yang dianggap merugikan.
Tentu, setiap orang punya kepentingannya masing-masing. pengusaha punya kepentingan, pemerintah punya kepentingan, dan buruh pun juga punya kepentingan.
Namun meski berulang kali telah duduk bersama dan urun rembuk mencari alternatif terbaik atas setiap permasalahan yang ada, tampak belum juga ditemukan ujung solusinya.
Maka, alternatif solusi yang ditawarkan pihak-pihak lain boleh jadi diperlukan karena dapat lebih jernih dan independen untuk menjadi disrupsi yang dapat diimplementasikan secara efektif bagi kedua belah pihak.
Wakaf saham korporasi
Permasalahan yang sering terjadi antara kedua belah pihak dalam hubungan usaha korporasi, insya Allah akan dapat teratasi dengan cara menerapkan disrupsi berupa skema wakaf berbasis saham korporasi.
Merujuk UU No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu ketika ikrar wakaf selesai dilaksanakan oleh pemilik saham mayoritas korporasi sebagai wakif, maka hasil pengelolaan harta wakaf dengan spesifikasi tertentu yang diperuntukkan kepada penerima manfaat (ma’uquf alaih) yakni buruh, paling afdhal dilakukan melalui lembaga koperasi pekerja yang dalam skema ini berperan sebagai pengelola wakaf saham (nazhir).
Penunjukan lembaga koperasi pekerja sebagai pengelola wakaf saham mengandung maksud bahwa keuntungan yang dihasilkan atas pengelolaan saham korporasi agar dapat diberikan kepada para buruh sekaligus sebagai anggota koperasi pekerja yang juga menjadi penerima manfaat.
Setelah menjadi pengelola wakaf saham korporasi, maka koperasi pekerja akan terlihat sebagai salah satu pemilik korporasi meski status hukum sesungguhnya bukanlah pemilik. Meskipun bukan pemilik korporasi, namun koperasi pekerja sebagai pengelola harta wakaf saham bisa saja diberikan kewenangan tertentu untuk ikut menentukan arah kendali bisnis korporasi sesuai ketentuan yang tertuang dalam ikrar wakaf.
Sehingga dengan berstatus sebagai anggota koperasi pekerja, para buruh seharusnya tak lagi gundah meski bukan sebagai pemilik perusahaan. Ketentraman yang hadir di hati para buruh bukanlah tanpa alasan, hal ini disebabkan sifat instrumen harta wakaf yang tak hanya abadi dalam pemberian manfaatnya, namun juga kekalnya kepastian pelaksanaan ketentuan-ketentuan dari wakif yang harus dilaksanakan nazhir sebagaimana tertuang dalam ikrar wakaf.
Namun juga penting untuk diingat tentang status baru ini bagi buruh sebagai anggota koperasi pekerja yang menjadi bagian sebagai pengelola perusahaan. Bahwa kewenangan yang melekat pada koperasi pekerja ini adalah kepada lembaganya bukan karena individunya. Sehingga jika sang buruh memutuskan bekerja di tempat lain, maka keanggotaannya dalam koperasi akan berakhir dan secara otomatis statusnya sebagai penerima manfaat harta wakaf pun hilang.
Hal lainnya yang menjadi keunikan khusus pada skema wakaf dalam hal ini yaitu meski koperasi pekerja dapat ikut serta mengelola perusahaan seperti halnya sebagai pemilik saham korporasi, namun koperasi pekerja tidak akan dapat menjual saham yang dikelolanya tersebut sampai kapanpun juga.
Sehingga hal ini akan menguntungkan bagi pengusaha karena selain pengendalian bisnis korporasi tetap terjaga, kinerja buruh pun akan meningkat signifikan disebabkan bertambahnya motivasi kerja buruh atas perubahan statusnya setelah pelaksanaan ikrar wakaf.
Jika selama ini para buruh terus memperjuangkan kesejahteraan dengan cara meminta menaikkan besaran upah minimum kabupaten (UMK), pesangon maupun THR, maka dengan status barunya sebagai buruh sekaligus penerima manfaat harta wakaf, berikutnya ia pasti akan menggunakan segenap kemampuan agar bisnis korporasi dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Sebab dengan semakin besarnya keuntungan yang dihasilkan oleh korporasi, maka secara otomatis penghasilannya sebagai buruh juga akan terkerek naik, THR-nya lebih besar dan pesangonnya juga dapat dirancang untuk makin menenteramkan.
Begitu pula dengan pengusaha yang selama ini mungkin merasa bebannya semakin berat karena harus menanggung resiko kerugian yang tinggi akibat kondisi dunia usaha yang tak menentu, ditambah permintaan para buruh agar besaran upahnya selalu minta dinaikkan. Maka dengan diserahkannya sebagian saham korporasi kepada koperasi pekerja, beban pengusaha makin berkurang karena koperasi pekerja yang telah diberi kewenangan untuk dapat ikut serta mengelola perusahaan seperti halnya sebagai pemilik saham korporasi, secara otomatis juga harus siap menanggung sebagian kerugian bisnis korporasi ketika resiko bisnis terjadi.
Dengan skema wakaf berbasis saham korporasi ini, buruh dan pengusaha akan makin dekat untuk mencapai titik temu dalam kesamaan berpikir dan bersikap guna menjaga dan meningkatkan pertumbuhan bisnis korporasi bersama-sama.
*) Baratadewa Sakti Perdana, ST, CPMM, AWP, Praktisi Keuangan Keluarga & Pendamping Bisnis UMKM
Pewarta: Baratadewa Sakti P *)
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020