Satu harga dalam harapan penyangrai kopi

9 Oktober 2020 17:29 WIB
Satu harga dalam harapan penyangrai kopi
Sangrai biji kopi robusta milik Mili (60) warga Desa Ulubelu, Kabupaten Tanggamus, Lampung yang masih terganjal mahalnya biaya operasional bahan bakar dalam distribusi penjualan. ANTARA/Afut Syafril Nusyirwan.

Ditemani kuali yang sudah berkerak hitam dan tungku berbahan bakar kayu bakar, Mili terlihat sibuk menyangrai kopi.

Sesekali ayunan tangannya yang lemah saat menyangrai, juga terlihat gemetar ketika menata tunggu tradisional yang lengkap dengan arang dan debu hasil pembakaran.

Begitulah keseharian Mili (60 tahun), warga Desa Ulubelu di Kabupaten Tanggamus, Lampung, dalam melanjutkan kehidupannya.

Saat itu Mili kebetulan tidak sedang memetik biji kopi. Ia memilih menyangrai biji kopi untuk ciptakan rasa terbaik dari robusta Lampung berbiji merah.

Belum selesai satu adukan, Mili sudah bergegas kembali membalik bulir-bulir kopi yang mulai setengah coklat di atas kuali.

“Ini tidak bisa terlalu lama panas, harus cepat dibalik dan panasnya harus pas dari kayu bakar,” gumamnya sembari sesekali meresapi aroma pekat kopi yang mulai menguap menandakan tingkat kematangan kopinya.

Kali ini, Mili tidak banyak membuat sangrai biji kopi, mengingat banyaknya tengkulak yang sudah mengusai harga pasaran lokal, satu hingga dua karung sekali panen hanya cukup untuk membeli beras, dan lauk dengan jauh dari kata mengenyangkan.

Namun ketika ditanya soal keuntungan sekali panen, mata Mili berkaca-kaca, apakah karena asap dari kayu tunggu, atau memang karena sesak yang nyaris tidak kuat ia tahan saat menengok isi bahan makanan di dapurnya yang tidak mampu ia beli hanya dari hasil sangrai kopi.

Dari 100 kilogram kopi yang dimilikinya, ia hanya mendapat untung sekitar Rp5.000 per kilo. Ini berarti ia hanya mendapatkan Rp500.000 sekali panen. Padahal ia harus menghidupi berbagai kebutuhan keluarganya.

Setelah menghasilkan kopi sangrai, Mili kembali dihadapkan pada kesulitan lainnya, yaitu ketika akan mengirimkan biji kopi hasil jerih payahnya tersebut ke kota.

Untuk mengantar kopi ke kota, setidaknya butuh dua liter bahan bakar yang ditempat pengecer di desanya dijual Rp10 ribu per liter. Harga yang cukup tinggi padahal Lampung tidaklah jauh dari ibu kota jika dilihat dari posisi geografis.

Tapi, tidak adanya penyalur resmi sebelumnya, membuat biaya operasional Mili selalu membengkak dalam mengirimkan kopinya. Hal itu disebabkan lokasi kebun kopi jauh dari tempat tinggalnya di kawasan pegunungan yang terjal hanya mampu dilalui oleh motor dengan roda dan suspensi yang harus dimodifikasi untuk jalur lumpur.

Bagaimana tidak, dengan belum memungkinkan kendaraan pembawa tangki BBM resmi Pertamina tidak dapat menjangkau area yang masih terjal, meskipun tetesan bahan bakar tersebut tengah ditunggu cukup lama.

Belum lagi pengiriman biji kopi ke kota kembali untuk mendapatkan harga jual yang tinggi harus menempuh jarak setidaknya satu jam perjalanan. Nyaris membuat operasional distribusi sudah menyentuh dari setengah harga modal Mili.

BBM Satu Harga

Masa sudah berlalu, peradaban semakin menyentuh pada urat nadi perekonomian, dengan melalui berbagai kelok keadaan ekonomi dan infrastruktur, PT Pertamina (Persero) menjajal jalan terjal untuk mampu mengurangi beban Mili yang menjadi satu sosok mewakili perjuangan dalam bertahan hidup mencari harapan terbaik.

Bahan bakar operasional yang dikeluarkan Mili, mampu dijawab Pertamina dengan menghadirkan akses BBM dengan harga yang sama dengan SPBU, tidak lagi Rp10 ribu per liter namun mampu menyentuh keekonomian hingga Rp6.450 per liter untuk jenis Premium.

Berapapun selisih yang mampu ia pangkas, itu akan sangat berarti dalam memberikan keringanan dalam berjuang menyambung hidup. Sama halnya dengan Mili, Andang juga merasakan hal serupa.

Penantian Andang untuk bisa mendapatkan tetesan BBM dengan harga sama dengan SPBU terjawab sudah.  Pria berusia 54 tahun itu  membeli Premium seharga Rp 6.450 per liter di SPBU BBM Satu Harga, Kecamatan Pagar Dewa, Kabupaten Lampung Barat.

“Saya berterima kasih pada Pertamina, karena ada SPBU Satu Harga ini selisih harga lumayan banyak, bisa buat tambah-tambah biaya lainnya. Sebelum ada SPBU ini, saya beli Premium Rp 10 ribu per liter di pengecer,” kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai pengepul kopi. Andang terpaksa beli di pengecer, karena untuk ke SPBU harus menempuh perjalanan jauh sekitar 40 km.

Tak hanya Premium, Warga Pagar Dewa, juga bisa membeli Solar seharga Rp 5.150 per liter, serta produk Pertamina lainnya seperti Pertamax dan Bright Gas dengan harga yang sama dengan di SPBU yang lain. Kehadiran SPBU BBM Satu Harga sebagai wujud keadilan sosial bagi masyarakat di pelosok untuk mendapatkan akses energi dengan harga yang sama di wilayah lainnya. 

PT Pertamina (Persero) melalui Marketing Operation Region (MOR) II Sumbagsel, telah meresmikan 3 SPBU BBM Satu Harga, yang berada di Lampung Barat, antara lain di Kecamatan Pagar Dewa, Kecamatan Kebun Tebu, dan Kecamatan Air Hitam. Di tahun depan, rencananya akan ada dua lagi SPBU BBM Satu Harga yang akan beroperasi di Lampung Barat, yaitu di Kecamatan  Lombok Seminung dan Gedung Surian.

 

Target

Region Manager Communication, Relations dan CSR Sumbagsel, Dewi Sri Utami, mengungkapkan sesuai mandat dari Pemerintah terkait Program BBM 1 Harga Tahun 2020, Pertamina Sumbagsel mendapat target pembangunan di 15 titik, antara lain 3 titik di Provinsi Bengkulu, 5 titik di Sumatera Selatan, dan 7 titik di Provinsi Lampung. 

Saat ini, 7 titik SPBU BBM 1 Harga beroperasi di Sumbagsel, sebarannya meliputi Kabupaten Musi Banyuasin, Bengkulu Utara, Lampung Barat,  dan Musi Rawas Utara. Empat titik BBM 1 Harga eksisting sejak 2018, dan 3 titik baru saja diresmikan.

"Kami berharap dengan BBM Satu Harga ini,  tidak sekadar memberikan keseragaman harga BBM di masyarakat tetapi juga memberikan kemudahan akses BBM bagi warga di wilayah 3T Tertinggal, Terdepan dan Terluar sehingga mendorong kemajuan ekonomi masyarakat,” kata Dewi.

Sejak mendapat tugas dari Pemerintah untuk membangun lembaga distribusi di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Terpencil), periode 2017 – September 2020, Pertamina telah berhasil menuntaskan pembangunan BBM Satu Harga di 172 titik.  Lokasinya tersebar di seluruh wilayah terluar Indonesia mulai dari Pulau Maluku - Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera hingga Pulau Jawa. 

Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan pada tahun 2020 Pertamina telah menuntaskan pembangunan BBM Satu Harga di 12 titik dari target 83 titik pada akhir tahun 2020. Ke-12 titik tersebut tersebar di Sulawesi Tengah (2 titik), Kalimantan Barat (1 titik), Maluku dan Maluku Utara (2 titik), Kalimantan Selatan (2 titik), Sumatera Utara (1 titik), NTB (1 titik) dan Papua (3 titik). Saat ini 56 titik sedang dalam tahap pembangunan dan sisanya proses perijinan.

Pertamina pun optimis akan menuntaskan pembangunan BBM Satu Harga di tahun 2020 sesuai yang telah ditargetkan, sehingga pada akhir tahun 2020 totalnya mencapai 243 titik. Sementara pada periode 2021 – 2024, sesuai road map, Pertamina menetapkan misi pembangunan BBM Satu Harga sebanyak 247 titik, sehingga total akan mencapai 500 titik BBM Satu Harga.

Dengan terjawab dari tantangan terjal dari capaian misi, masih banyak Mili dan Andang lainnya yang belum mendapati hak yang sama dengan perataan ekonomi dari berkah satu harga. Namun, satu per satu wilayah telah tersibak dari penjelajahan satu harga.

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2020