• Beranda
  • Berita
  • Menjadikan perguruan tinggi sebagai tambang inovasi

Menjadikan perguruan tinggi sebagai tambang inovasi

11 Oktober 2020 13:43 WIB
Menjadikan perguruan tinggi sebagai tambang inovasi
Pemaparan Menristek Bambang Brodjonegoro soal hilirisasi riset dan inovasi perguruan tinggi. (Antara/Ikhwan Wahyudi)
Selama ini istilah tambang kerap ditujukan kepada eksplorasi sumber daya alam mulai dari minyak, gas, batu bara hingga emas sehingga negara yang memiliki beragam tambang tersebut dipastikan akan kaya karena hasilnya memiliki nilai jual yang tinggi.

Namun itu dulu, sekarang tambang tidak lagi berbanding lurus dengan tingkat kekayaan dan kesejahteraan suatu negara.

Buktinya Singapura nyaris tidak sumber daya alam yang akan ditambang, namun negara dengan luas 721,5 kilometer per segi itu memiliki produk domestik bruto per kapita mencapai 323,9 miliar dolar AS pada 2017 atau nomor tiga tertinggi di dunia.

Selain itu jika dulu jajaran orang terkaya di dunia didominasi oleh pengusaha tambang, kini bisa dilihat mereka yang berhasil menciptakan inovasi di bidang teknologi menjadi penguasa ekonomi.

Perkembangan terbaru dari hari ke hari nilai hasil tambang pun kian turun sehingga tak bisa diandalkan lagi.

Venezuela disebut sebagai salah satu negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia mencapai 302,8 miliar barel, namun saat ini dilanda krisis ekonomi.

Berkaca dari realitas tersebut sudah saatnya siapa pun negara yang ingin maju dan berkembang harus terus menciptakan inovasi.

Baca juga: Menristek luncurkan 100 produk inovasi Unand siap dikomersialisasi

Baca juga: Menristek : Science Techno Park Unand jadi wadah hilirisasi riset


Geliat Unand

Menjawab hal itu Universitas Andalas (Unand) Padang sebagai salah satu perguruan tinggi tertua di luar Pulau Jawa mencoba menangkap peluang tersebut.

Sejak 2018 Unand Padang membangun Science Techno Park untuk hilirisasi riset dan inovasi di lahan seluas 3,5 hektare sebagai wadah menyalurkan hasil riset dan temuan para dosen, sehingga bisa bermanfaat langsung bagi masyarakat yang pada akhirnya turut serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unand Uyung Gatot memaparkan pembangunan Science Techno Park pada tahap awal dibiayai oleh Kementerian Riset dan Teknologi senilai Rp6 miliar.

Menurut dia, selama ini yang menjadi persoalan hasil riset dan inovasi yang dilakukan para dosen adalah hilirisasi agar hasilnya bisa bermanfaat.

"Melalui Science Techno Park diharapkan sebagai wadah bertemunya pemerintah, pebisnis dan akademisi untuk mengembangkan inovasi," katanya.

Pembangunan Science Techno Park sejalan dengan harapan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menginginkan perguruan tinggi dapat menjadi tulang punggung pengembangan inovasi nasional

"Harus diakui ke depan pengembangan ekonomi di Tanah Air akan berbasis inovasi dan perguruan tinggi harus menjadi yang terdepan," kata Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prof Nizam saat peresmian Science Techno Park Unand.

Ia melihat perguruan tinggi tidak bisa menguasai semuanya dan harus bergandengan tangan dengan dunia usaha dan industri.

Sebab jika perguruan tinggi hanya bekerja sendiri maka hilirisasi hasil riset hanya mimpi dan tidak akan dapat menguasai pasar.

Sementara Rektor Unand Prof Yuliandri mengatakan potensi dan terhadap hasil riset inovasi menjadi tantangan bagi para dosen untuk terus dikembangkan

"Unand punya tekad jadi universitas riset dan berharap diberi kesempatan lebih luas untuk masuk ke jaringan prioritas riset nasional," kata dia

Baca juga: Kampus harus jadi tulang punggung pengembangan inovasi

Baca juga: Sejarawan Unand: Film G-30S/PKI belum tumbuhkan kesadaran anak bangsa


Hilirisasi Riset

Pada peresmian Science Techno Park Unand, Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro berharap keberadaan Science Techno Park Unand dapat menjadi wadah hilirisasi riset.

"Saya melihat Unand sudah menuju hilirisasi riset dan diharapkan keberadaan Science Techno Park menjadi wahana pertemuan dengan dunia usaha dan industri," kata dia.

Menurut dia, melihat produk-produk riset yang telah dihasilkan Unand amat sesuai dengan hasil kekayaan alam yang dimiliki bangsa ini.

Ia mengingatkan kekayaan alam yang dimiliki bangsa ini jangan sampai membuat kita terlena dan berada dalam zona nyaman.

Menristek memberi contoh di Sumatera Barat sudah berhasil menanam dan memetik hasil gambir bahkan hasilnya diekspor ke luar tetapi jangan merasa puas sampai di situ

"Yang paling menikmati sumber daya alam tersebut adalah mereka yang bisa menciptakan nilai tambah produk bukan yang menanam saja," kata dia.

Untuk bisa menciptakan nilai tambah produk kuncinya adalah teknologi dan ilmu pengetahuan.

"Jadi yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana caranya agar kekayaan alam tersebut setelah melalui proses riset menjadi produk baru yang dapat diterima masyarakat secara umum," katanya.

Baca juga: Masyarakat perlu apresiasi rekonstruksi G-30S/PKI

Baca juga: Guru Besar Unand : Indonesia harus jadi pelopor ekonomi halal


Komersialisasi hasil riset

Pada 9 Oktober 2020 Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Nasional dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro juga meluncurkan 100 lebih produk inovasi dan hasil riset Unand yang siap dikomersialisasi dunia usaha dan industri.

Ketua Science Techno Park Unand Dr Eka Candra Lina menyampaikan 100 lebih produk inovasi hasil riset Unand tersebut merupakan hasil karya para inovator Unand dan hasil kerja sama Science Techno Park Unand dengan berbagai pihak mulai dari UKM, alumni hingga komunitas.

Seluruh produk telah disusun dalam dua buku berjudul Produk Riset Inovatif Unand jilid I dan II yang terdiri dari produk hasil riset kelompok kesehatan sebanyak 51, kelompok teknologi 59 produk, kelompok pangan 63 produk

Ia menyampaikan membuka diri seluas-luasnya kepada perusahaan rintisan, UMKM hingga pemerintah daerah untuk bekerja sama dengan Unand dalam rangka komersialisasi hasil riset yang telah dilakukan para inovator.

Eka menyampaikan dari 100 lebih hasil riset yang siap dikomersialisasi di antaranya motif batik Minang, tenun tradisional Minang, pengering dari tenaga surya, olahan kulit manggis.

Kemudian teknologi pengendalian hama ramah lingkungan, ventilator, pengolahan minyak kelapa alat uji kematangan produk tanaman, produk turunan gambir dengan 18 olahan inovatif, hingga 25 benih jagung hibrida.

"Semua ini siap dikomersialisasi dan dikerjasamakan," katanya.

Salah satu inovasi yang dilakukan Guru besar bidang Arkeologi Unand Padang Prof Herwandi adalah menciptakan dan mematenkan 42 motif batik khas Minangkabau.

Merespon kelangkaan motif dan usaha merevitalisasi pola hias tradisional saya menciptakan pola hias dan motif batik baru, kata Herwandi saat pengukuhan sebagai guru besar.

Menurutnya, motif yang diciptakan semuanya mempertahankan dan setia dengan filosofi adat dan seni Minangkabau.

Ia mengatakan jumlah perajin batik di Sumbar tak lebih dari 120 orang, kemampuannya pun tidak merata, yang mampu mengerjakan dari awal sampai tuntas hanya bisa dihitung dengan jari.

Akibatnya, motif batik yang dihasilkan menjadi sedikit sehingga salah satu keluhan perajin adalah penciptaan motif baru yang mampu bersaing dan diminati pasar, ujarnya.

Herwandi menyampaikan dari 42 motif batik yang diciptakan tujuh diantaranya sudah dihilirisasi dan produksi masal.

Salah satunya motif menhir pucuk pakis diambil dari bentuk dan hiasan yang dijumpai pada menhir di Kabupaten Limapuluh Kota berbentuk pucuk pakis.

Kemudian motif garundang mandi yang menggambarkan secara abstrak sekelompok garundang atau kecebong yang hidup berkelompok dan mandi dalam kolam air.

Motif ini memiliki makna dalam berhubungan dengan masyarakat egaliter, kompak dan menjaga kebersamaan namun dengan nikmat dan berkecukupan..

Selanjutnya motif kabek daun kacang yang merupakan penggambaran abstrak dari daun kacang yang disusun dan diikat rapi dengan indah.

Menurutnya nilai filosofi kabek daun kacang adalah merefleksikan masyarakat yang sederhana, rapi, disiplin, dan penuh keindahan yang menyejukkan sebagai gambaran dari masyarakat perdesaan Minangkabau.

Lalu motif ayam balatiang yang merupakan penggambaran abstrak dua ekor ayam yang sedang berkelahi dengan makna filosofi kehidupan yang penuh persaingan sehingga yang kuat dan pintar akan menang.

Ia menilai industri batik di Sumatera Barat mengalami kesulitan penciptaan motif baru dan kelangkaan sumber daya manusia.

"Meski pun sudah mulai bergairah, industri batik di Sumbar belum berkembang dengan baik dan belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri," katanya

Menurutnya, permintaan pasar terhadap batik Sumbar cukup besar, namun tidak terpenuhi oleh produksi lokal sehingga sebagian besar kebutuhan batik masih dipasok dari Jawa.*

Baca juga: Unand fokus lakukan inovasi tata kelola wujudkan Kampus Merdeka

Baca juga: Bunga harapan untuk penyintas COVID-19 di RS Unand

Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020