Hal tersebut diungkapkan pakar TI dan ahli keamanan digital dari Swiss German University, Charles Lim, yang menyebut tiga hal tersebut krusial dan harus berjalan bersamaan, sebab merupakan satu kesatuan.
"Dalam keamanan siber kita perlu membangun tiga hal ini, baik dari manusia, pembenahan proses dan evaluasi, serta penggunaan teknologi yang tepat guna," ujar Charles, dalam konferensi pers virtual, Selasa.
Menurut Charles, masyarakat saat ini banyak yang beranggapan bahwa untuk menjaga keamanan siber hanya diperlukan teknologi yang canggih. Padahal, dukungan manusia dan proses justru merupakan bagian paling lemah dari rantai keamanan siber, sehingga perlu diperhatikan.
Baca juga: Serangan siber yang targetkan Asia Tenggara meningkat selama pandemi
Baca juga: BSSN: Keamanan siber Indonesia membaik 2020
Pengguna aplikasi seluler berisiko besar terpapar kejahatan siber. Mengutip data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Charles mengatakan setiap manusia di Indonesia memegang 1,3 perangkat, yang berarti satu orang memiliki lebih dari dua perangkat, atau bahkan tiga perangkat.
"Yang perlu diperhatikan juga di dalam dunia digital yang saat ini sedang berkembang adalah bahwa setiap manusia Indonesia itu paling tidak mereka menggunakan waktunya lebih dari empat jam di mobile device," kata Charles.
Bahkan, angka tersebut, menurut Charles, bisa saja lebih tinggi, mengingat jumlah penetrasi perangkat seluler yang juga kian meningkat.
Data dari perusahaan analisa aplikasi, App Annie, pada 2020 selama pandemi COVID-19, masyarakat Indonesia menghabiskan kurang lebih enam jam per hari menggunakan aplikasi pada perangkat seluler.
Sementara waktu penggunaan pada perangkat seluler meningkat, manusia menjadi celah rentan kejahatan siber yang menjadi target sasaran para penjahat siber.
Baca juga: Zoom tambah pengamanan autentikasi dua faktor, begini caranya
Riset dari ISACA, organisasi yang melakukan penelitian keamanan siber, menunjukkan bahwa social engineering, istilah yang digunakan untuk berbagai tindak kejahatan yang dilakukan dengan memanfaatkan interaksi dengan manusia, menjadi modus ancaman keamanan digital terbesar yang digunakan pelaku kejahatan siber.
"Manusia merupakan kunci dari keamanan siber. Tingkat kompetensi masih dari posisi rendah sampai sedang. Kita masih punya kekurangan. Oleh sebab itu, usaha kita terus menerus untuk membuat manusia teredukasi, mengingat manusia paling lemah dalam mata rantai keamanan siber," kata Charles.
Salah satu perusahaan asal Indonesia yang menghadirkan layanan digital kepada masyarakat, Gojek, juga telah gencar mengedukasi pengguna tentang keamanan siber.
SVP Corporate Affairs Gojek, Rubi Purnomo, mengatakan bahwa Gojek telah melakukan edukasi keamanan digital dengan memperkenalkan modus modus kejahatan siber, juga selalu mengingatkan untuk tidak berbagai kode OTP (one-time password) atau kata sandi sekali pakai.
Rubi menambahkan bahwa Gojek juga telah berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk Kementerian Kominfo, Center for Digital Society (CfDS) UGM dan Siberkreasi.
Sementara, lewat teknologi, Head of Driver Operations, Trust & Safety, Kelvin Timotius, mengungkapkan Gojek telah menghadirkan dan memperbaiki fitur untuk meningkatkan keamanan siber, di antaranya verifikasi muka dan penyamaran nomor telepon atau number masking.
Baca juga: Perangkat lunak legal, cara awal atasi serangan siber
Baca juga: Lima langkah amankan ponsel Android dari kejahatan siber
Baca juga: Perusahaan teknologi ingatkan jaga keamanan siber saat pandemi
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2020