• Beranda
  • Berita
  • Kisah penyintas COVID-19, percaya teori konspirasi sampai kena "badai"

Kisah penyintas COVID-19, percaya teori konspirasi sampai kena "badai"

14 Oktober 2020 13:08 WIB
Kisah penyintas COVID-19, percaya teori konspirasi sampai kena "badai"
Arsip Foto. Petugas PPSU Bukit Duri menyelesaikan pembuatan mural kampanye pencegahan penularan COVID-19 di kawasan Tebet, Jakarta, Rabu (26/8/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wsj.
Imam Teguh Saptono semula sangat yakin bahwa pandemi COVID-19 merupakan kejadian yang direncanakan, buah dari upaya modifikasi virus yang dilakukan oleh manusia guna menghasilkan senjata biologi untuk kepentingan suatu kelompok.

Dia bukannya tidak percaya bahwa COVID-19 itu ada. Tapi dia termasuk orang yang meyakini adanya konspirasi di balik persebaran virus SARS CoV-2 yang menyebabkan penyakit tersebut. Dia juga menganggap SARS-CoV-2 tidak terlalu berbahaya sebagaimana yang diwartakan oleh media-media massa.

Selain itu, alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut merasa aman dari virus corona karena disiplin menjalankan protokol kesehatan dan menerapkan pola hidup sehat semenjak menderita penyakit akibat perlemakan hati beberapa tahun lalu.

Ketika dikonfirmasi positif COVID-19 pun, Imam masih merasakan penolakan di dalam dirinya karena merasa bisa menghindari penyakit itu setelah rutin berolahraga, minum berbagai macam vitamin dan obat-obatan herbal, makan sehat, dan disiplin menjalankan protokol kesehatan.

Namun dia kemudian merasakan bagaimana virus corona tipe baru mengobrak-abrik sistem pertahanan tubuhnya dan membuat dia merasa sudah berada dekat dengan maut. Infeksi virus itu membuat dia demam dan menggigil hebat serta menghadapi sindrom badai sitokin.

"Dokter bilang saya terkena badai sitokin sindrom," kata Imam, Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia yang termasuk anggota "alumni COVID-19 angkatan ventilator".

Badai sitokin terjadi akibat respons sistem imun terhadap infeksi yang tidak berjalan sebagaimana semestinya. Kondisi tersebut bisa menimbulkan penurunan fungsi paru-paru sehingga pasien membutuhkan ventilator untuk bernafas.

Pada hari keenam setelah dinyatakan positif terserang COVID-19, Imam harus menjalani perawatan di rumah sakit. Ia mengalami sesak nafas dengan saturasi oksigen dalam darah 92 persen sehingga membutuhkan asupan oksigen dengan kekuatan embusan level tiga.

Kondisi Imam selanjutnya makin memburuk. Dia mengalami diare hebat selama berhari-hari sehingga tubuhnya kekurangan cairan dan kelelahan karena hanya bisa tidur selama dua jam sehari, itu pun tidak nyenyak, dengan bantuan obat tidur.

Pada hari ke-13, Imam dipindahkan ke ruangan perawatan intensif karena laju endap darahnya enam kali lipat di atas normal dan saturasi oksigen dalam darahnya menurun menjadi 85 persen dari batas minimal 95 persen. Di samping itu, Imam amat sangat kelelahan sampai mengangkat tangan saja tidak bisa.

"Dokter memutuskan untuk memasang ventilator. Pada saat itulah saya berpikir saya akan dipanggil," kata Imam.

Imam pun kemudian bertanya tentang hari, karena berharap dipanggil oleh Sang Maha Kuasa pada Jumat, dan menelpon isterinya untuk berpamitan serta memohon doa.

Hal terakhir yang dia ingat mengenai peristiwa itu adalah dokter meminta izin untuk menyuntikkan obat bius. Saat efek obat bius hilang, dia merasakan pengalaman terburuk.

Imam sadar kedua tangannya diikat keras pada tempat tidur, selang dan pipa masuk ke dalam tubuhnya melalui mulut dan tenggorokan. Dia mendengar dengan jelas bunyi ventilator yang bekerja menggantikan fungsi paru-parunya dan berkontribusi 80 persen terhadap kelangsungan hidupnya. Dia merasa sakit dan amat sangat tidak nyaman.

Seorang perawat lantas datang menghampiri Imam dan menjelaskan mengenai apa yang terjadi padanya.

"Pak Imam maaf tangannya diikat ya agar alat tetap bekerja dengan normal, ikuti saja ritme dari mesin, jangan panik, Bapak berdoa saja, istighfar," kata Imam mengutip penjelasan si perawat.

Pada saat itu Imam merasa berada di titik terendah dalam hidupnya sebagai manusia, tidak berdaya sama sekali. Dia memikirkan apa yang telah dia lakukan selama hidup di dunia, hal-hal buruk yang pernah dilakukan, dan apakah laku hidupnya sudah cukup bermanfaat bagi orang lain.

Pada hari berikutnya secercah harapannya muncul ketika seorang perawat datang membawakan gawai kecil yang berisikan rekaman video dan suara dari teman-temannya dari SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, tempat kerja pertama, tempat kerja kedua, dan rekan-rekan lain yang menyemangati dan mendoakan dia cepat pulih.

"Entah istri saya bagaimana cara mendapatkan rekaman itu semua, tapi di situlah saya merasa optimis," kata Imam.

Selama sakit, Imam mengaku mendapatkan perawatan tambahan berupa injeksi antibodi ke dalam tubuh untuk melawan virus yang biayanya tidak ditanggung oleh pemerintah.

Imam bebas dari ventilator dalam waktu tidak lebih dari empat hari. "Dokter bilang ini rekor penggunaan ventilator tercepat pada kondisi terburuk. Dan dokter bilang, Bapak termasuk tiga dari lima orang yang bangun setelah dipasang ventilator," kata Imam.

Penderita COVID-19 yang lolos dari kondisi kritis menghadapi dua kemungkinan, paru-parunya pulih dalam masa tiga hingga enam bulan atau mengalami cacat. Imam sampai sekarang masih berada dalam tahap pemulihan paru-paru.

Setelah apa yang dia alami, Imam menyampaikan pesan kepada semua orang agar tidak meremehkan COVID-19 namun juga tidak terlalu paranoid akibat penyakit tersebut.

"Disiplin jalankan prinsip 3M, memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan, serta mencuci tangan dengan sabun. Terapkan protokol kesehatan secara disiplin sebagai ikhtiar dan rasa syukur akan kesehatan agar terhindar dari penyakit berbahaya," demikian pesan Imam

Baca juga:
Bangkit menghapus stigma "alumni" COVID-19
Penyintas COVID-19 jalankan kebiasaan baik jaga kesehatan

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2020