"Indonesia tidak beli putus, tapi harus ada transfer teknologi," kata Menristek/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro dalam seminar virtual Vaksin Merah Putih: Tantangan dan Harapan, yang dipantau di Jakarta, Rabu.
Dia menuturkan Indonesia tidak beli putus atau langsung beli barang jadi berupa vaksin dalam kemasan, tapi Indonesia membeli bahan baku kemudian diproduksi dengan teknologi produksi yang dilakukan oleh PT Bio Farma di Indonesia.
Saat ini, PT Bio Farma dan Sinovac sedang melakukan uji klinik fase 3 di Indonesia untuk kandidat vaksin COVID-19 yang dikembangkan oleh Sinovac.
Menristek Bambang menuturkan Indonesia tidak semata-mata menjadi lahan uji klinik atau pasar potensial.
Sekarang ini, katanya, setidaknya ada tiga kerja sama yang akan atau sedang uji klinik, yakni Bio Farma dengan Sinovac, Kementerian Kesehatan dengan Sinofarm dan perusahaan lokal Kalbe Farma dengan Genexine dari Korea.
Saat ini juga, katanya, sedang dijajaki kerja sama yang lebih ke hulu, yakni Turki, Kanada dan diaspora.
Baca juga: Sinovac-Bio Farma mulai transfer teknologi produksi vaksin COVID-19
Menristek mengatakan kerja sama dengan pihak luar terkait vaksin COVID-19 harus jelas menguntungkan Indonesia, atau paling tidak saling menguntungkan.
Baca juga: Selain Sinovac, Erick Thohir: RI jajaki vaksin dari produsen lainnya
Untuk itu, pembentukan Tim Pengembangan Vaksin Merah Putih akan menjamin Indonesia dapat tetap mengembangkan kapasitas penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan vaskin nasional dan percepatan pengadaan vaksin.
Baca juga: Tim Riset Unpad mulai uji klinis vaksin COVID-19 gelombang kedua
"Secara umum kita sudah siap secara institusi untuk artinya memberikan izin baik dari uji klinisnya sampai kepada pemakaiannya," tutur Menristek Bambang.
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020