• Beranda
  • Berita
  • Peneliti minta pemerintah jaring aspirasi masyarakat soal Omnibus Law

Peneliti minta pemerintah jaring aspirasi masyarakat soal Omnibus Law

15 Oktober 2020 13:56 WIB
Peneliti minta pemerintah jaring aspirasi masyarakat soal Omnibus Law
ILUSTRASI - Penataan regulasi melalui RUU Cipta Kerja untuk peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja. ANTARA/Ardika/am.

upaya pemulihan ekonomi perlu menjadi fokus pemerintah, dengan atau tanpa adanya UU Cipta Kerja

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan meminta pemerintah tidak abai terhadap respon dan tuntutan masyarakat yang meminta transparansi dan komunikasi dengan pihak pemerintah berkaitan dengan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law.

Menurut dia, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia merupakan bentuk kepedulian dari masyarakat terhadap negara.

"Proses dialog dapat terus diupayakan agar dapat menjaring aspirasi masyarakat seluas-luasnya dan menjaga stabilitas sosial. Hal ini penting karena stabilitas sosial pun menjadi faktor yang mempengaruhi kondisi perekonomian, utamanya sentimen pasar dan aktivitas ekonomi yang berjalan di tengah masyarakat," katanya dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

Pingkan menuturkan pengesahan UU Cipta Kerja menuai berbagai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Walaupun demikian, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan dari UU ini yang berhubungan dengan upaya pemulihan ekonomi, yaitu bentuk dukungan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan juga reformasi regulasi dalam rangka efisiensi birokrasi.

Ia menilai upaya pemulihan ekonomi perlu menjadi fokus pemerintah, dengan atau tanpa adanya UU Cipta Kerja.

Dalam UU Cipta Kerja, dukungan terhadap UMKM dan reformasi regulasi merupakan dua hal yang penting didorong efektivitasnya karena diharapkan dapat memberikan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan terhadap koperasi dan UMKM serta industri dan perdagangan nasional, menyerap tenaga kerja Indonesia, serta melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan keberpihakan, penguatan, dan perlindungan bagi koperasi dan UMKM serta industri nasional.

Kedua poin tersebut penting mendapatkan perhatian lebih lanjut.

"Hal ini dikarenakan setiap tahunnya pemerintah telah mengalokasikan anggaran namun tetap menemui kendala dalam proses birokrasi yang panjang bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Oleh karena itu reformasi struktural pun menjadi diperlukan seperti yang tercantum dalam Bagian Ketiga mengenai Kriteria UMKM yang mengubah ketentuan pada UU Nomor 20/2008 tentang UMKM," jelas Pingkan.

Ia menuturkan reformasi struktural mengacu kepada perubahan yang diamanatkan UU Cipta Kerja Pasal 87 yang mengubah Pasal 12 dari UU Nomor 20/2008 tentang UMKM dengan memperjelas perizinan yang dimaksud ialah Perizinan Berusaha.

Demikian pula Pasal 21 dengan memperjelas subyek pemerintah menjadi pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta menghilangkan kata “dapat” yang membuat posisi pemerintah di sini memiliki kewajiban untuk menyediakan pembiayaan bagi UMKM.

Ada pun, ketentuan lebih lanjut berkenaan dengan persyaratan dan tata cara Perizinan Berusaha akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Namun demikian, Pingkan menilai masih ada pasal terkait usaha mikro dan kecil yang rancu atau multi-tafsir, misalnya saja Pasal 87 UU Cipta Kerja menyebutkan Biaya Perizinan Berusaha bagi usaha mikro akan dibebaskan biayanya sedangkan untuk usaha kecil akan diringankan besar biayanya.

Dalam Pasal 92 menyebutkan bahwa usaha mikro dan kecil yang mengajukan Perizinan Berusaha dapat diberikan insentif berupa tidak dikenakan biaya atau diberikan keringanan biaya.

Penggunaan kata dapat atau dalam kaidah hukum disebut mogen (kebolehan) yang mengindikasikan tidak ada larangan dan kewajiban di dalamnya. Hal itu nerbeda dengan Pasal 87 yang mengindikasikan kondisi pasti pembebasan dan pengurangan biaya perizinan.

Pingkan menyebut adanya pasal multitafsir berpotensi pada kecenderungan para pelaku usaha untuk menghindari proses memperoleh izin walaupun telah dipermudah dalam satu platform Online Single Submission (OSS).

Kekhawatiran itu turut didukung oleh data studi dari IFC (2016) mengenai alasan usaha kecil dan menengah tidak mendaftarkan usaha mereka selain karena proses perizinan yang rumit, yaitu karena tidak melihat manfaat perizinan dan biaya perizinan yang terlalu mahal.

"Oleh karena itu, urgensi memperjelas ketentuan perizinan UMKM sebaiknya menjadi prioritas," imbuhnya.

Baca juga: Pengamat nilai UU Cipta Kerja dapat kendalikan perubahan fungsi ruang
Baca juga: Menkeu: Omnibus Law Cipta Kerja entaskan RI dari "middle income trap"
Baca juga: Akademisi sebut pentingnya sosialisasi dan komunikasi UU Cipta Kerja

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2020