Hal tersebut disampaikan Hasto saat menjadi narasumber dalam Forum Indonesia Berdikari (FIB) melalui telekonferensi, Minggu.
Hasto mengingatkan bahwa Indonesia saat ini masih terbelakang dalam politik industri dan inovasi teknologi akibat strategi pembangunan perekonomian pada masa lalu, terutama Orde Baru.
Baca juga: Hasto: Indonesia butuh produktif/inovatif ketimbang berkonflik sendiri
"Sebagai contoh dalam capaian teknologi 2015, kita ini peringkat ke 99 dari 167 negara, ini dari konteks 'strategy culture' kita yang masih jauh. Industri pertahanan kita jauh tertinggal, apalagi industri proses yang lain. Kita juga melihat dari Global Innovation Index Ranking, kita juga di urutan 85 dari 129 negara atau ketujuh di ASEAN," katanya.
Hasto menyadari banyak sumber daya alam dalam aspek bioekonomi yang belum tergarap dengan baik, mulai dari tanaman dan lautan yang harus dikerjakan secara inovatif menggunakan teknologi dan riset untuk memberikan nilai tambah yang ujungnya memberikan kesejahteraan pada rakyat.
Di PDIP, kata Hasto, pihaknya sudah merekomendasikan kepada pemerintah agar menjadikan ilmu pengetahuan sebagai jalan politik dengan penguasaan ilmu-ilmu dasar, supremasi riset dan inovasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan APBN khusus untuk riset harus ditingkatkan supaya terjadi perubahan secara revolusioner.
Sejak lima tahun lalu, kata Hasto, PDIP mengkampanyekan parpol harus bersekutu dengan ilmu pengetahuan sehingga PDIP mempelopori pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional meskipun ada hambatan birokrasi.
Baca juga: Sekjen PDIP ajak kader bangun partai bersama rakyat
"Kami berharap bahwa gerakan untuk membangun Indonesia berdikari ini semakin kuat dan khususnya kami harapkan dari kalangan perguruan tinggi, politisi, semuanya bisa bersinergi. Pandemi ini momentum bagi kita untuk merombak seluruh hal yang menjadi kekeliruan di masa lalu terkait strategi perekonomian nasional kita," kata Hasto.
Di sisi lain, politik industri harus mengacu pada Pancasila yang bercita-cita pada keadilan sosial, sebab pada 1945 Indonesia sudah punya diksi keadilan sosial, padahal itu dalam teori ilmu tersebut baru populer pada sekitar 1970.
Alumnus Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu menambahkan bahwa memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa merupakan amanat konstitusi terhadap negara.
"Di dalam Pancasila ini ada prinsip kesejahteraan, Bung Karno mengatakan Indonesia merdeka seharusnya tidak ada seorang pun mengalami kemiskinan. Karena itulah kemudian, Pancasila, dalam konteks berbangsa dan bernegara, diterjemahkan dalam tujuan bernegara," kata Hasto.
Baca juga: PDIP sebut legitimasi rakyat perlu pemimpin jawab tantangan COVID-19
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI) Ir Tatang Hernas Soerawidjaja menilai pendayagunaan nilai ekonomi alam dan nabati Indonesia masih sangat rendah, padahal Indonesia memiliki sumber daya nabati dan mineral yang sangat kaya dan tidak dimiliki negara-negara lain.
Tatang lalu bercerita tantangan untuk memajukan sumber daya Indonesia dengan inovatif dan kreatif sudah didengungkan oleh Presiden Pertama RI Bung Karno saat menyampaikan pidato di ITB pada Maret 1965.
Saat itu, lanjut dia, Proklamator RI itu menantang insinyur Indonesia untuk membuat baju dari batu.
Baca juga: PDIP: Politik pendidikan itu mencerdaskan kehidupan bangsa
"Sebetulnya sampai jadi, walaupun sesudah Bung Karno turun. Itu bikin dari batu gamping dengan karbon jadi karbit, dari karbit jadi asitilen lalu jadi polimer lalu kemudian jadi serat, serat dipilin jadi benang. Itu dari batu sebetulnya. Tinggal perekonomian waktu itu, tetapi sebetulnya bisa. Sama sekarang sebenarnya kita bisa membuat BBM hidrokarbon dari minyak sawit. Banyak kita bisa lakukan, cuma kita harus lebih inovatif," kata dia.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020