• Beranda
  • Berita
  • Start up digital titik balik kebangkitan desa dan UMKM Indonesia

Start up digital titik balik kebangkitan desa dan UMKM Indonesia

20 Oktober 2020 13:46 WIB
Start up digital titik balik kebangkitan desa dan UMKM Indonesia
Sejumlah pengelola perusahaan rintisan digital atau startup mengoperasikan program pelayanan di sebuah kantor bersama berbasis jaringan internet (Coworking space) Ngalup.Co di Malang, Jawa Timur, Senin (12/10/2020). Kementerian Koperasi dan UKM menargetkan bisa menumbuhkan 750 wirausaha baru berbasis teknologi informasi atau startup digital setiap tahun untuk mendorong lebih banyak pelaku UMKM terakses digital. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/wsj. (ANTARA FOTO/ARI BOWO SUCIPTO)

start up-start up dan UMKM yang “dipersenjatai” dengan teknologi tinggi inilah yang akan membawa bangsa ini bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19

Start up, wirausaha muda, dan UMKM, yang terus berinovasi dalam kesunyian diam-diam adalah solusi bagi persoalan bangsa ini di tengah pandemi.

Mereka ibarat secercah cahaya di lorong gelap yang layak untuk diikuti arah datangnya menuju terang yang sesungguhnya.

Terlebih Indonesia saat ini dianggap sebagai negara yang berpotensi menjadi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Diperkirakan pada 2025, nilai transaksi ekonomi digital diproyeksikan mencapai 133 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.826 triliun.

Namun, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan saat ini baru 10,25 juta UMKM hadir dalam platform digital atau 16 persen dari total populasi UMKM.

Padahal ia sendiri meyakini hanya mereka yang terakses pada dunia digital yang akan bisa bertahan bahkan berkembang di tengah pandemi ini.

Oleh karena itu, Teten menilai pentingnya untuk mendorong lebih banyak UMKM terakses digital dan menciptakan start up-start up digital baru di Indonesia.

Terlebih saat ini berbagai kemudahan memungkinkan hal itu terjadi. Ia mencontohkan UU Cipta Kerja misalnya, yang dikatanya akan begitu mudah mendukung percepatan digitalisasi KUMKM.

“Ini bisa dengan memberikan kemudahan melalui pelatihan dan pendampingan pemanfaatan sistem/aplikasi di setiap lini bisnis proses KUMKM dan inkubasi bisnis untuk menciptakan KUMKM berbasis inovasi dan teknologi,” katanya.

Ia meyakini bahwa start up-start up dan UMKM yang “dipersenjatai” dengan teknologi tinggi inilah yang akan membawa bangsa ini bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19.

 
Pekerja menyelesaikan pembuatan sepatu wanita di Industri Sepatu rumahan, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Senin (19/10/2020). Pelaku UMKM tersebut mengaku produksi sepatu mengalami penurunanhingga 40 persen dari produksi sebelum pandemi COVID-19 yang mencapai 150 pasang sepatu per hari untuk memenuhi pasar domestik. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/nz (ANTARA FOTO/MUHAMMAD IQBAL)
Potensi Start Up

Pengamat bisnis dan industri start up yang juga Business Representative dari VC FasterCapital Karim Taslim, menilai potensi berkembangnya start up di Indonesia masih sangat besar.

Tren start up di Indonesia masih baru sebatas implementasi produk, pemberian layanan purna jual, dan pemasaran demi mendapatkan pertumbuhan yang pesat. Hal ini masih jauh dari kata inovasi mengingat penerapan teknologi hanya untuk mendukung kebutuhan-kebutuhan dasar.

Karim melihat sekitar 3-4 tahun yang lalu, perkembangan start up di Indonesia masih didominasi oleh Startup e-Commerce. Dan dalam beberapa tahun terakhir, mulai diikuti oleh Startup Transportasi Online, Startup Educational, Startup Fintech, Startup Kesehatan, hingga Startup On Demand Services.

Ketika dunia dihadapkan pada wabah pandemi COVID-19, tidak terkecuali Indonesia, perkembangan start up menghadapi tantangan sekaligus mendapatkan momentum yang tak terduga.

Ada bidang-bidang tertentu yang terdampak sangat parah, bahkan beberapa start up besar dalam industri pariwisata terpaksa gulung tikar. Sementara Startup-Startup e-Commerce, Educational, Fintech, hingga On Demand Services, mendapatkan momentum luar biasa.

Pembatasan sosial selama masa pandemi menyebabkan aktivitas masyarakat di luar rumah berkurang. Hal ini justru berdampak positif pada tren penjualan dari e-Commerce di Indonesia, terutama di sektor ritel.

Startup-startup di bidang e-Commerce, kata Karim, membukukan penjualan hampir 5 kali lipat dari kuartal sebelumnya. Barang-barang kebutuhan pokok, makanan minuman, kesehatan dan kebutuhan rumah tangga adalah barang-barang yang paling banyak dicari konsumen.

Bahkan tercatat ada 51 persen konsumen baru yang baru pertama kalinya berbelanja secara online, tidak semua konsumen baru ini tercatat sebagai pengguna e-commerce formal, namun sebagian di antaranya merupakan pengguna e-commerce nonformal (toko online melalui Instagram, Facebook, atau situs pribadi).

Tercatat pada 2018, hampir 90 persen produk yang listing di e-commerce Indonesia, didominasi oleh produk impor sebagaimana disampaikan oleh Menteri Perdagangan RI saat itu. Kadin bahkan memberikan angka yang lebih tinggi, yaitu 93-94 persen.

Beberapa upaya nyata telah dilakukan oleh Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan produk-produk lokal, tetapi hasilnya belum maksimal. Produk lokal, mikro, kecil dan menengah, pun faktanya belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
 
Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Yogyakarta Tutty Fetrianingsih menunjukan kerajinan produksinya yang dipasarkan melalui online marketplace, di galeri Kana Shibori, Yogyakarta, Sabtu (15/8/2020). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/hp. (Antara Foto/Andreas Fitri Atmoko)
Garap Peluang

Pendiri Start up Sensa.id Syahroni yang merupakan marketplace produk-produk dari desa berpendapat start up dapat tumbuh besar dengan menggarap peluang-peluang kecil yang tak dilirik usaha besar.

Ia mendapati marketplace yang dikembangkan bersama enam orang rekannya itu mulai dikenal masyarakat lantaran menyediakan produk-produk unik langsung dari petani atau UMKM di pedesaan.

Produk-produk yang dipasarkan melalui Sensa.id, dapat dipastikan merupakan produk-produk lokal, dan diharapkan dapat menjadi salah satu solusi bagi pemerintah untuk mengimbangi gempuran produk impor.

Bahkan sensa.id juga mendorong para petani, peternak, pengrajin, agar tidak semata-mata menjual produk-produk mentah.

Produk-produk mentah tersebut dapat ditingkatkan nilainya menjadi produk pangan olahan, seperti makanan ringan dalam kemasan, minuman tradisional dalam kemasan, bumbu-bumbu dapur olahan dalam kemasan, dan lain-lain.

Hal yang paling dibutuhkannya saat ini adalah upaya inovasi dalam bidang promosi agar marketplace yang dikembangkannya yang merupakan singkatan dari Sentra Desa itu semakin luas pasarnya.

Syahroni misalnya berupaya mempromosikan web marketplacenya www.sensa.id melalui berbagai platform media sosial agar semakin dikenal masyarakat.

Selain inovasi dalam bidang promosi, juga perlu dukungan dari pemerintah dalam hal mengkurasi dan mengembangkan produk pertanian dan pedesaan karena sifatnya yang lokalistik mesti mendapat perlakukan khusus.

Misalnya dalam hal peningkatan kapasitas petani atau produsen dalam mengembangkan usaha berbasis digital, serta inkubator usaha komunitas, gerai produk yang terkoneksi dengan marketplace, sehingga faktor jarak dan geografis yang selalu menjadi kendala dapat diminimalisir.

Maka menemukan jalan keluar bagi persoalan mereka menjadi mutlak dilakukan sebab gerak dan dinamika para start up itulah yang akan menjadi titik balik kebangkitan ekonomi pascapandemi.

Baca juga: Wapres: Program bantuan UMKM tetap dianggarkan di 2021
Baca juga: Wapres: Digitalisasi percepat UMKM terima bantuan Pemerintah

 

Menkop UKM: UMKM terkoneksi ekosistem digital lebih tahan pandemi

 


 

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2020