Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji mengatakan, kenaikan tarif CHT sebenarnya sah-sah saja, asalkan pemerintah mempertimbangkan nasib para petani dan buruh tani tembakau.
"Ya kalau misal naik maksimal 5 persen mungkin itu angka wajar. Pemerintah masih untung, petani tidak bingung," ujar Agus dalam pernyataan di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Ketua MPR minta pemerintah cermat tentukan tarif cukai tembakau 2021
Di tengah pandemi yang masih berlangsung, pemerintah dikabarkan akan menaikkan tarif CHT hingga dua digit. Ada kabar pemerintah akan menaikkan tarif CHT sebesar 19 persen, namun pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada awal pekan lalu menyatakan masih menghitung besaran kenaikan tarif. Pada tahun ini, pemerintah sudah menaikkan tarif CHT sebesar 23 persen.
“Kami sangat tidak setuju. Kalau naik 19 persen itu sudah dua kali memberatkan karena tahun ini sudah naik 23 persen. Salah satu faktor penghancur dan melemahnya penyerapan industri adalah dampak kenaikan cukai," kata Agus.
Agus menuturkan, tahun ini saja perekonomian petani tembakau sudah hancur akibat harga jual tembakau yang rendah. Jika benar akan ada kenaikan harga cukai, dia memastikan kehidupan ekonomi rakyat pertembakauan Tanah Air akan makin parah.
Baca juga: Kemenkeu: Pemerintah belum tentukan tarif cukai rokok 2021
"Hasil kami merugi, jangankan untuk melanjutkan pertanian lagi, untuk hidup saja susah. Seharusnya ini jadi kajian pemerintah, rakyatnya sudah menderita kok malah dinaikkan lagi?" ujar Agus.
Menurut Agus, pemerintah hanya sepihak dalam mengambil kebijakan cukai. Agus mengaku pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam wacana kenaikan cukai rokok ini. Padahal, seharusnya pemerintah mengajak semua pihak untuk duduk bersama.
"Lalu kalau penyerapan industri tembakau melemah apa pemerintah mau beli hasil tembakau kami? Jangan hanya beri kebijakan tapi tidak ada solusi," kata Agus.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti agar pemerintah juga melindungi sektor sigaret kretek tangan (SKT) yang juga terdampak kenaikan cukai.
Apalagi, sebagian besar pelinting SKT merupakan rakyat kecil dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang telah menahun bekerja sebagai pelinting rokok dan menjadi tulang punggung keluarga.
"Teman-teman pelinting atau buruh SKT itu terdampak kenaikan cukai, padahal negara dibuatkan lapangan kerja oleh SKT. Buruh SKT dan buruh tani tembakau harus dipertimbangkan, jangan dilibas dengan kenaikan cukai," ujarnya.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020