Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan proses transisi sumber energi dari fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan.Transisi energi ini mutlak dilakukan untuk menjaga ketersediaan energi pada masa mendatang
"Transisi energi ini mutlak dilakukan untuk menjaga ketersediaan energi pada masa mendatang," katanya dalam acara webinar "Potret Energi Indonesia" sebagai rangkaian kegiatan Tempo Energy Day seperti dikutip dari laman Kementerian ESDM di Jakarta, Kamis.
Tanpa penemuan cadangan fosil yang baru, sambung Arifin, maka minyak bumi di Indonesia akan habis dalam waktu sembilan tahun ke depan, gas bumi habis 22 tahun lagi, dan batubara habis 65 tahun mendatang.
Sebenarnya, menurut dia, saat ini kondisi sumber energi Indonesia masih tergolong melimpah, khususnya batubara dan gas bumi.
Hanya saja, tanpa adanya perubahan pola konsumsi dan disertai peningkatan kegiatan eksplorasi, maka Indonesia akan semakin dekat dengan krisis energi.
"Indonesia masih banyak sumber-sumber reservoir yang belum dieksplorasi secara masif. Kita akan mendeteksi resources yang baru untuk mendukung kebutuhan energi dalam jangka yang panjang," ungkapnya.
Arifin menjelaskan saat ini Indonesia memiliki kapasitas pembangkitan sebesar 70,96 gigawatt (GW).
Dari kapasitas pembangkit tersebut, 35,36 persen energi berasal dari batubara, 19,36 persen gas bumi, 34,38 persen minyak bumi, dan EBT sebesar 10,9 persen.
Ia melanjutkan, melalui transisi energi ini, pemerintah mengharapkan dapat memperbaiki neraca perdagangan luar negeri.
"Kita sangat serius memperbaiki neraca perdagangan dengan mengurangi impor BBM melalui pemanfaatan biodiesel, mengembangkan dan membangun enam kilang baru untuk menambah kapasitas (BBM) nasional, serta mempercepat implementasi kendaraan listrik," jelasnya.
Mengoptimalkan EBT
Selain eksplorasi, menurut Arifin, hal penting lainnya yang dilakukan pemerintah adalah mengoptimalkan penggunaan EBT.
Indonesia tercatat memiliki potensi sumber EBT lebih dari 400 GW, yang dari jumlah tersebut baru dimanfaatkan 2,5 persen atau 10 GW.
Arifin menilai EBT merupakan strategi penting dalam mendorong pemulihan roda ekonomi pascapandemi dan menuju Indonesia yang berketahanan energi.
"EBT akan mendorong terciptanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang stabil, berkelanjutan, mengurangi gas rumah kaca (GRK), dan dapat menciptakan banyak lapangan kerja," tambahnya.
Arifin melanjutkan pemerintah juga telah menyiapkan aturan tentang EBT yang akan keluar dalam waktu dekat.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana menambahkan beleid berupa peraturan presiden tersebut tengah dalam tahap finalisasi.
"Aturan itu akan mendorong pemanfaatan EBT dan pada yang sama meningkatkan investasi dalam negeri. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri dalam transisi energi ini. Semua sangat bergantung pada investasi, karena dana yang dimiliki pemerintah terbatas," ujarnya.
Rancangan Perpres EBT itu sudah melewati proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan ditargetkan diundangkan sebelum akhir 2020.
Di samping itu, lanjut Rida, pemerintah tengah menyiapkan program renewabale energy based industry development (REBID) dan renewable energy based on economic development (REBED) yang dirancang untuk mempercepat EBT di kawasan industri, kawasan ekonomi khusus (KEK), dan ekonomi lokal khusus di wilayah terdepan, tertinggal, dan terluar (3T).
Pemerintah juga meningkatkan pembangunan pembangkit surya dan angin; memaksimalkan pemanfaatan bioenergi melalui pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di 12 kota dan biomassa sebagai bahan bakar tambahan (co-firing) PLTU; implementasi B-30; hingga pembangunan green refinery.
Baca juga: Anggota DPR apresiasi pemanfaatan EBT untuk bahan bakar PLTU di Flores
Baca juga: Menteri ESDM: Pemanfaatan EBT dipercepat dengan penciptaan pasar baru
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020