"Tidak ada satu pun petani yang memamerkan dan menjual spesies itu," kata Arif Joko kepada ANTARA.
Dia mengungkapkan, di habitat aslinya di kawasan hutan yang ada di Garut, Cianjur selatan, dan Sukabumi selatan, Phalaenopsis javanica sudah sulit ditemukan karena sebagian besar hutan Jawa Barat rusak.
Pada 1970-an spesies anggrek ini masih dikenal luas dan mudah ditemui kalangan penggemar anggrek Indonesia.
"Terakhir saya melihat Phalaenopsis javanica tahun 2005 di kebun salah seorang kolektor anggrek di Lembang," kata Arif.
Dia menyebut kolektor anggrek menjadi salah satu penghambat lestarinya Phalaenopsis javanica.
"Sebenarnya beberapa kolektor punya anggrek spesies itu. Tapi mereka berpikiran kalau punya spesies langka itu prestise. Makanya tidak ada yang mau menjual dan memperbanyaknya," lanjut Arif.
Ia mengatakan, Phalaenopsis javanica justru banyak ditemui di Malaysia dan Taiwan dan mereka tidak menganggap anggrek ini spesies langka.
"Di sana satu pohon dijual seharga Rp150 ribu. Di Indonesia saya ditawari bibitnya saja oleh seorang kolektor seharga Rp600 ribu," kata Arif.
Menurutnya, kalangan penggemar anggrek spesies Indonesia menganggap anggrek hutan lebih bagus daripada anggrek spesies yang dikembangbiakkan melalui proses pembotolan.
Padahal, kata Arif, proses pembotolan bisa mempermudah dan mempercepat pengembangbiakkan anggrek spesies ketimbang harus mencarinya di hutan.
Sayang, teknologi pembotolan di Indonesia tertinggal dari negara lain di Asia karena Indonesia masih menggunakan teknik selfing (perkawinan sendiri), sedangkan di negara lain seperti Malaysia dan Taiwan sudah menggunakan teknik kloning.
Arif menyebut teknik kloning justru membuat kualitas bibit anggrek yang dihasilkan menjadi lebih bagus.
"Pemerintah harus membantu agar anggrek hutan tidak punah. Sekarang kan banyak terjadi pembalakan hutan, habitat asli anggrek," demikian Arif. (*)
S018//AR09
Pewarta: handr
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010