Gerakan Boikot Pajak Hanya Emosional Sesaat

29 Maret 2010 09:26 WIB
Gerakan Boikot Pajak Hanya Emosional Sesaat
Medan (ANTARA News) - Gerakan boikot membayar pajak yang dilakukan melalui jejaring sosial dunia maya, Facebook, merupakan bentuk kekecewaan dan ungkapan emosional sesaat (temporer), kata Presiden Perjuangan Hukum dan Politik (PHP), HMK Aldian Pinem, SH, MH.

"Namun, unsur temporer dalam kekecewaan dan emosional itu dapat berlanjut jika tidak disikapi dengan cepat dan bijaksana," kata Aldian Pinem di Medan, Senin.

Sebenarnya, rakyat memiliki harapan yang sangat besar untuk dapat menikmati proses pembangunan yang direncanakan pemerintah.

Harapan itu, menurut dia, diwujudkan dengan kesediaan menyisihkan sebagian harta mereka yang didapatkan dengan susah payah kepada negara dalam bentuk pajak.

Rakyat sangat berharap agar pajak yang mereka berikan dapat dikelola dengan benar sehingga mampu mendapatkan kesejahteraa yang lebih baik.

Namun, adanya praktik penggelapan pajak dan kegiatan mafia untuk melindungi para pengemplang pajak yang justru dilakukan petugas pajak sendiri, seperti kasus Gayus Tambunan sangat menyakiti perasaan rakyat.

Karena itu, sebagian rakyat yang merasa telah berkorban untuk mebayar pajak menjadi kecewa dan emosional karena merasa dihianati oleh oknum pegawai pemerintah tersebut.

Kekecewaan dan sikap emosional tersebut diwujudkan dengan mengajak unsur bangsa yang lain untuk memboikot melaksanakan kewajiban terhadap negara itu.

Namun, kata Aldian Pinem, pihaknya menilai kekecewaan dan sikap emosional itu hanya bersifat sesaat sebagai bentuk protes atas penghianatan yang mereka terima.

Meski demikian, kekecewaan dan emosional yang diwujudkan dalam kampanye boikot membayar pajak itu jangan dianggap sepele karena dapat membesar jika tidak disikapi dengan kebijakan yang signifikan.

Diantaranya, kata dia, adanya hukuman yang sangat tegas sebagai bentuk pembuktian dari pemerintah yang membenci dan tidak menolerir praktik pengemplangan pajak dan kegiatan mafia yang melindungi pelaku penggelapan tersebut.

Hukuman tegas tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan Pasal 2 ayat (2) UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengandung ancaman hukuman mati bagi aparat pemerintah yang terbukti melindungi pengemplang pajak itu.

Sanksi tegas seperti hukuman mati itu diperlukan karena tindakan oknum seperti yang dilakukan Gayus Tambunan itu bukan sekadar merugikan keuangan negara, tapi juga melecehkan martabat dan menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap negara.

"Mereka sudah diberi gaji besar serta berbagai insentif dan biaya tunjangan tapi masih mau mencuri dan membantu orang lain mencuri uang negara. Jadi, wajar jika dihukum mati," katanya.

Kemudian, kata Aldian Pinem, petugas pajak yang bertugas mengurus uang negara selama ini bersedia untuk menjelaskan harta kekayaan yang dimilikinya.

Sebagian besar rakyat sudah mengetahui jika petugas pajak selama ini banyak yang hidup dalam kemewahan dan harta yang berlimpah.

Meski belum bisa membuktikan tapi sebagian rakyat ada yang mempertanyakan asal muasal harta tersebut, apakah didapatkan dengan cara yang benar atau melanggar hukum.

Kasus Gayus Tambunan dapat menguatkan kecurigaan rakyat bahwa kekayaan dan kemewahan yang dimiliki sebagian besar pejabat instansi pajak kemungkinan didapatkan dari kegiatan ilegal, seperti menggelapkan pajak dan melindungi pengemplang pajak.

"Rakyat akan beranggapan, Gayus Tambunan yang masih muda dan belum memiliki jabatan tinggi saja sudah kaya raya. Jadi, tidak heran jika pejabat senior dan berpangkat tinggi memiliki harta lebih berlimpah," katanya.

"Jika petugas pajak berani terbuka dan menjelaskan asal muasal kekayaannya, hal itu dapat menumbuhkan kepercayaan dan kredit poin dimata rakyat. Rakyat juga akan kembali cinta membayar pajak," katanya menambahkan.
(T.I023/S015/P003)

Pewarta: priya
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010