"Mereka tertarik sektor industri dan jasa karena penghasilan tenaga kerja sektor pertanian lebih rendah dibanding sektor industri dan jasa," kata Suliswiyadi dalam webinar "Kebijakan Pemerintah untuk Mengoptimalkan Kesejahteraan Petani" di Unimma, Sabtu.
Selain itu, sektor industri dan jasa lebih menjanjikan jenjang karier yang pasti, petani tidak ingin generasi penerusnya menjadi petani, banyaknya konversi lahan yang menunjukkan usaha pertanian tidak ekonomis, dan mereka tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menjalankan agribisnis termasuk dari sisi kemampuan manajerial.
Oleh karena itu, katanya Unimma ingin menggagas program peningkatan kesejahteraan petani melalui sekolah petani.
Baca juga: Anggota DPD: Adopsi teknologi untuk tarik minat pemuda jadi petani
Baca juga: Mentan minta petani muda lakukan pendekatan baru pertanian modern
Unnima akan menggunakan sumber daya yang dimiliki meskipun tidak mempunyai jurusan pertanian atau prodi pertanian, namun senantiasa merespon persoalan-persoalan kebutuhan masyarakat sehingga dapat memecahkan masalah-masalah kuantitatif maupun kualitatif termasuk program diversifikasi tanaman maupun pangan yang sudah dirintis dalam pendampingan oleh Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) unimma 4-5 tahun yang lalu, terutama kepada komunitas petani multikultur.
"Gagasan rintisan sekolah tani Unimma bukan ingin mencetak ahli pertanian, akan tetapi membentuk komunitas agar para petani berdaya dengan kompetensi merdeka belajar dari kampus merdeka karena kebijakan Mendikbud sehingga bisa in line dengan pemberdayaan masyarakat sehingga mereka mampu menghadapi tantangan zaman yang senantiasa berubah," katanya.
Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah Dr. H. M. Nurul Yamin, M.Si. mengidentifikasi kantong-kantong kemiskinan salah satunya ada di sektor pertanian, khususnya buruh tani, bukan pedagang hasil pertanian, apalagi pengimpor/pengekspor hasil pertanian, tetapi justru di petaninya itu sendiri.
Ia mengatakan karena ada disparitas yang sangat tinggi antara harga di produsen/petani dengan harga di konsumen mata rantainya sangat panjang dan yang mengambil keuntungan di situ sangat banyak.
Kantong kemiskinan sektor lain, yakni ada di nelayan, buruh, UMKM, marginal perkotaan, dan disabilitas.
Kondisi nasib petani dan pertanian di Indonesia, lahan semakin menyempit maka solusinya adalah bagaimana dengan lahan sempit itu bisa dioptimalkan, terobosannya adalah urban farming.
Problem lain, katanya generasi petani Indonesia itu sudah tua-tua, bahkan kalau tidak segera diantisipasi akan mengalami lost generation, maka bagaimana memunculkan petani milenial.
"Persoalannya apakah dunia pertanian menarik untuk angkatan muda, ini yang harus kita jawab. Teknologi pertanian yang semakin tertinggal, persoalan klasik harga-harga saat musim tanam itu naik sementara pada saat panen harga-harga turun," katanya.
Ia menyampaikan perguruan tinggi harus mampu mengangkat nasib petani menjadi lebih baik kalau menyatakan diri sudah terlibat dalam pemberdayaan petani.
Secara produksi, katanya hasilnya bisa lebih besar, lebih baik kualitasnya, untungnya harus lebih besar, dan menekan biaya seminimal mungkin.
Ia menuturkan untuk mengentaskan petani yang lemah menuju petani yang kuat harus dilakukan dengan penguatan kapasitas produksi dan kelembagaan.
"Persoalannya tidak mudah untuk menerapkan teknologi baru di pertanian di Indonesia karena menyangkut budaya tani. Hal ini perlu pendampingan jangka panjang," katanya.
Hal lain yang perlu dilakukan, menurut dia pengembangan kelembagaan organisasi petani yang jarang disentuh.
"Kita lebih banyak melakukan pelatihan-pelatihan tetapi kadang belum menyentuh pada bagaimana penguatan kelembagaan petani dan pengembangan sarana prasarana," katanya.*
Baca juga: Dana cukai tembakau seharusnya lebih fokus untuk petani dan buruh
Baca juga: Peneliti: petani tembakau butuh perhatian pemerintah
Pewarta: Heru Suyitno
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020