"No essential, no travelling," demikian pengumuman yang terpampang di laman resmi Kedutaan Besar Republik Rakyat China di Jakarta.Kalau "swab test"-nya di Surabaya, sedangkan berangkatnya dari Jakarta, pasti akan kesulitan mengatur waktunya
Pengumuman itu ditujukan kepada siapa saja yang hendak bepergian ke China.
Tidak membedakan, apakah dia warga negara China yang tinggal di Indonesia atau warga negara Indonesia yang hendak bepergian ke China.
Jika tidak ada kepentingan yang sangat mendesak, sebaiknya tidak melakukan perjalanan ke China, demikian anjuran Kedutaan.
China merasa perlu mencantumkan pengumuman tersebut, meskipun telah menandatangani kesepakatan bersama dengan Indonesia terkait Travel Corridor.
Peringatan yang dicantumkan mulai 1 Oktober 2020 itu untuk mempertegas maksud dari Travel Corridor yang hanya terbatas pada kepentingan sangat mendesak, seperti kedinasan, bertemu anggota keluarga (family reunion), alasan pekerjaan, bisnis, dan keperluan lain menyangkut hal-hal yang bersifat kemanusiaan.
Lalu bagaimana kalau memang sangat mendesak untuk berangkat ke China?
Pemerintah China memberikan persyaratan yang sangat ketat bagi siapa saja yang memang mendesak untuk datang.
Sebelum berangkat ke China, mereka harus melakukan tes usap (swab test) di beberapa institusi kesehatan yang terdaftar di kantor perwakilan RRC.
Kalau pada 2 Agustus jumlah institusi kesehatan di Indonesia yang ditunjuk oleh kantor perwakilan RRC sebanyak 68 unit, maka per 1 Oktober jumlahnya dikurangi hampir separuh hingga tertinggal 39 unit.
Seperti di wilayah kerja Konsulat Jenderal RI di Surabaya yang sebelumnya terdaftar 20 institusi kesehatan berubah menjadi enam saja.
Beberapa rumah sakit umum daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta yang sebelumnya masuk daftar rekomendasi, dihapus sejak 1 Oktober.
Masa berlakunya swab test yang sebelumnya lima hari, sejak 1 Oktober itu juga dipangkas hanya menjadi tiga hari sebelum naik pesawat (boarding).
Padahal paling cepat hasil swab test baru keluar satu hari kemudian sehingga persiapan para calon penumpang semakin singkat.
"Kalau swab test-nya di Surabaya, sedangkan berangkatnya dari Jakarta, pasti akan kesulitan mengatur waktunya," kata seorang petugas bagian visa China di Surabaya sambil menyarankan beberapa orang pemohon visa untuk melakukan tes di Jakarta.
Setelah tes dengan biaya mandiri, mereka masih dikenai kewajiban mengisi formulir yang dilampiri hasil negatif swab test lalu dikirimkan ke kantor perwakilan RRC sesuai domisili, seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan Denpasar.
Pihak perwakilan RRC akan mengirim balik formulir tersebut lengkap dengan pembubuhan tanda berlaku dan stempel resmi perwakilan tersebut.
Batas pengiriman formulir itu tidak boleh kurang dari 12 jam menjelang keberangkatan.
Formulir tersebut harus dicetak untuk ditunjukkan kepada petugas di bandara keberangkatan dan bandara kedatangan.
"Kalau harus cetak begini, di mana saya bisa mendapatkannya?" tulis seorang anggota grup obrolan WeChat yang dibuat khusus untuk calon penumpang Xiamen Airlines dari Jakarta tujuan Fuzhou dengan jadwal keberangkatan 22 Oktober 2020.
Dia yang berkewarganegaraan China tentu kelabakan ketika harus mencari jasa cetak formulir tersebut di Jakarta, apalagi selama ini tempat kerjanya di Kalimantan.
"Harusnya cukup diunduh dari ponsel saja," usul seorang rekannya di grup obrolan paling populer di China itu menanggapi keluhan rekannya sesama warga negara China yang hendak mudik itu.
Ternyata walaupun berbekal formulir kesehatan dari perwakilan RRC bukan berarti si calon penumpang tinggal berangkat saja karena masih diharuskan memindai laman Komisi Kesehatan Nasional China (NHC).
Setelah berhasil memindai laman NHC, calon penumpang harus mengisi semua daftar pertanyaan yang tertera di dalamnya untuk mendapatkan kode bar yang ditunjukkan kepada petugas maskapai menjelang keberangkatan dan petugas kesehatan di bandara tujuan.
Penerbangan Langka
Perjuangan para calon traveller masih terus berlanjut, meskipun sudah berhasil melewati rumitnya persyaratan tersebut.
Dalam situasi pandemi, tidak banyak maskapai yang mengoperasikan pesawatnya di jalur penerbangan China-Indonesia.
Sejak akhir Januari 2020, maskapai penerbangan Indonesia sudah menghentikan operasinya di jalur penerbangan itu. Langkah itu diikuti oleh maskapai China.
Meskipun Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dan koleganya, Menlu China Wang Yi, menyepakati Travel Corridor akhir Agsutus lalu, maskapai dari kedua negara itu belum memulihkan jadwal regulernya.
"Kami masih mengajukan izin. Mudah-mudahan pertengahan Oktober nanti bisa terbang ke sana," kata seorang manajer operasional Garuda Indonesia saat dihubungi ANTARA pada akhir September.
Walau begitu, maskapai penerbangan "pelat merah" tersebut bukan berarti tidak terbang ke China sama sekali.
Beberapa perusahaan China yang beroperasi di berbagai wilayah di Indonesia menyewa pesawat milik Garuda untuk memulangkan para pekerjanya yang habis masa kontrak.
Pesawat Garuda yang disewa perusahaan itu hanya terbang di rute Jakarta-Chengdu.
Citilink dan Sriwijaya Airlines juga melakukan hal yang sama, masing-masing melayani carter untuk penerbangan Jakarta-Kunming dan Jakarta-Hangzhou.
Hanya maskapai Xiamen Airlines yang membuka penerbangan regulernya dari Jakarta ke Fuzhou setiap Kamis.
"Tapi untuk yang penerbangan hari Kamis tanggal 29 Oktober, kami belum mendapatkan izin," kata staf kantor perwakilan Xiamen Airlines di Jakarta melalui sambungan telepon pada 8 Oktober.
Oleh karena langkanya penerbangan ke China itulah, maka harga tiket sangat mahal. Bahkan bisa enam hingga 10 kali lipat harga normal.
Untuk satu kali perjalanan saja, harga tiket kelas ekonomi berkisar antara Rp23 juta hingga Rp30 juta.
Itu pun belum termasuk biaya karantina di hotel di selama 14 hari yang rata-rata di berbagai kota di China mengenakan tarif 6.500 yuan atau sekitar Rp14,1 juta per kamar.
China mewajibkan setiap kamar diisi satu orang yang menjalani karantina.
Lalu bagaimana dengan anak-anak? Anak yang berusia kurang dari 14 tahun, boleh tinggal sekamar dengan ayah atau ibunya. Di atas usia 14 tahun, harus tinggal di dalam kamar secara terpisah dari orang tuanya.
Tidak hanya berliku, problem lainnya adalah betapa mahalnya biaya perjalanan ke China dan karantina yang harus ditanggung setiap orang pada masa pandemi ini.
(Bersambung ke Bagian 2)
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2020