"Kami lihat sekarang banyak orang yang tiba-tiba bisa mempengaruhi, padahal dia tidak membawa kebenaran, melainkan sensasi dan halusinasi," kata dia saat diskusi daring dengan tema Refleksi Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-Amin yang dipantau di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan kondisi tersebut mengakibatkan dinamika komunikasi publik mengalami persaingan untuk merebut kebenaran dalam benak publik. Kemudian, termasuk pula adanya kepercayaan masyarakat hanya pada kelompoknya saja.
Adanya kondisi dimana hampir setiap orang bisa memproduksi, mengonsumsi dan mendistribusikan, melahirkan situasi yang disebut dengan infodemik. Akibatnya, tidak hanya masalah komunikasi publik terganggu, namun juga tersampaikannya informasi tidak sehat.
Prof Widodo mengatakan selama pandemi COVID-19 di Tanah Air, berita bohong paling banyak terjadi pada Maret 2020. Akibatnya, muncul beragam reaksi masyarakat, salah satunya kepanikan untuk membeli sesuatu atau panic buying.
Jika merujuk data, kata dia, selama pademi COVID-19, aplikasi YouTube paling banyak digunakan oleh masyarakat. Namun, hal itu masih dapat dikontrol oleh Kominfo.
Namun, khusus aplikasi WhatsApp (WA) diakuinya sulit untuk dikontrol karena tertutup dan hanya bisa dipantau oleh anggota percakapan grup itu saja.
Facebook, Instagram dan sebagainya masih bisa dipantau, tapi aplikasi WA sulit sehingga infodemik itu banyak lahir dan besar dari aplikasi tersebut, ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, sesuai pernyataan Presiden Jokowi, yakni jangan biarkan krisis membuahkan kemunduran. Sebab, keadaan itu harus dimanfaatkan untuk membuat sebuah lompatan besar.
"Bahkan ada diksi kita bajak di tengah masyarakat semua sedang restart," katanya.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020