Relawan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Suryopratomo mengatakan masyarakat Indonesia tidak kekurangan informasi tentang COVID-19, tetapi justru berlebihan dalam menerima informasi.Yang memprihatinkan informasi yang beredar cenderung mencari sensasi dan memancing klik
"Saking berlebihan, pesan yang diterima tidak semua edukatif. Yang memprihatinkan informasi yang beredar cenderung untuk mencari sensasi dan memancing klik. Tidak substansial yang memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat," kata Tomi, panggilan akrabnya, pada acara bincang-bincang Satuan Tugas Penanganan COVID-19 yang disiarkan akun Youtube BNPB Indonesia dari Gedung Graha BNPB, Jakarta, Selasa.
Baca juga: Satgas minta masyarakat cermat sikapi informasi soal vaksin COVID-19
Wartawan senior yang sudah ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk menjadi Duta Besar Indonesia untuk Singapura itu mengatakan dari sekian banyak membaca artikel dan berita tentang COVID-19, hanya satu atau dua saja yang sifatnya mencerahkan. Selebihnya lebih banyak informasi yang menakut-nakuti masyarakat.
Hal yang berbeda terjadi di negara lain. Selandia Baru misalnya, Tomi menyebut media massa berperan penting dan menjadi bagian dari solusi dalam penanganan COVID-19.
Baca juga: Wapres: Pemda harus penuhi hak masyarakat atas informasi COVID-19
"Bukan soal medianya mendukung pemerintah atau tidak, tetapi yang harus kita perjuangkan adalah eksistensi bangsa ini. Survei menyebutkan 63 persen penanganan COVID-19 ada di tangan media dalam konteks mengedukasi masyarakat," tuturnya.
Tomi menilai bangsa Indonesia masih belum bisa membedakan kapan harus berkompetisi dan kapan harus bekerja sama dalam sistem demokrasi. Ketika pandemi COVID-19 terjadi di Indonesia, atas nama demokrasi, hal itu kemudian dianggap sebagai sebuah isu untuk memotret ketidakmampuan pemerintah.
Baca juga: Doni Monardo: Seluruh komponen bangsa harus berperan tangani COVID-19
Padahal, yang lebih harus dikedepankan adalah kekuatan bangsa untuk menangani COVID-19, meskipun harus diakui sistem kesehatan Indonesia memang tidak cukup tangguh karena keterbatasan yang dimiliki.
"Dokter kita tidak lebih dari 200 ribu, dokter spesialis tidak sampai 35 ribu, apalagi dokter paru kurang dari 2.000. Belum lagi bicara pemerataan fasilitas kesehatan. Yang ironis, semua mengeksploitasi kelemahan tersebut bukan bicara bagaimana mengatasinya," katanya.
Baca juga: DPR benarkan Jokowi ajukan 31 nama calon Dubes RI
Tomi mengatakan negara-negara lain yang telah berhasil menangani COVID-19 karena memandang virus tersebut sebagai ancaman sehingga bangsanya bekerja sama untuk mencari jalan keluar dengan melihat kekuatan yang dimiliki.
#satgascovid19
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020